Minggu lalu, entah dapet ilham dari mana. Saya dan mbak dewi nyasar ke DIKNAS Palembang. berbekal dengan sebundel proposal yang isinya adalah permohonan beasiswa.
Lega rasanya, berada di gedung DIKNAS Palembang yang terletak di bilangan Jl.Kapt Arivai. Notabene di sini adalah sumber kehidupan bagi orang-orang yang pengen sekolah tapi terkendala dana. Yaps, tempat ini merupakan salah satu tujuan proposal beasiswa dikirimkan. Saya pun mencoba seperti mereka.
Clingak Clinguk. Tanya sana-sini dan akhirnya sampailah di lantai dua tempat pengurusan beasiswa.
Lorong- lorong terisi lalu lalang orang berkemeja putih (wajar, ini dinasti Jokowi). Kaki ini terus melangkah pada rute yang ditunjukkan kepadaku ketika awal bertanya tadi. Sampailah pada sebuah meja yang terisi oleh tempelan-tempelan kertas kecil seperti note, saya ndak sempat membaca isinya.
Meja kerja itu dihuni seorang bapak pun berkemeja putih, wajahnya dihiasi kacamata yang sedang fokus lurus ke depan sebuah layar laptopnya.
seketia ia pun menoleh, seperti sudah tau bahwa dibelakangnya sudah ada dua mahkluk cantik, saya dan mbak Dewi. Singkat cerita kami pun menyampaikan niat sebab musabab kehadiran kami di sini.
To the point nya adalah ketika bapak itu mulai melepaskan kacamatanya dan menjelaskan tentang Hitam Putih.
"Mohon Maaf yang sebesarnya ya dek, kalau anggaran beasiswa untuk S2 tahun ini kami alihkan ke anggaran beasiswa S1. Semua kami lakukan karena sepertinya yang sangat memnutuhkan adalah untuk jenjang s1. terlihat sekali hitam putihnya. Ketika awal sebelum kuliah ia masih belum punya apa-apa bagaikan kertas warna hitam. Namun dengan bantuan dana beasiswa ini mereka nanti setelah lulus akan terlihat hasil kesuksesannya, bagaikan kertas putih. Jadi kami meniadakan beasiswa s2 dan fokus ke beasiswa s1 karena akan terlihat sekali hitam putihnya. Hal ini kami lakukan agar dana dari pemerintah dapat tepat sasaran.Lagian kalau beasiswa S2 dan S3, tidak terlihat hitam putihnya, mereka sering tidak laporan tiap semesternyo, dan menghilang tanpa jejak entah ke mana. jadi, enak lah kami ngenjuk anak-anak yang S1 aja yang lebih membutuhkan"
Rentetan kata tersebut seolah meleburkan semangat kami, Memusnahkan rasa optimis yang terbangun selama pembuatan proposal. Dan semua diakhiri dengan tambahan darinya,
"Yo sudah dak papo dek yo, ini proposal kalian bapak terimo, tapi setidaknyo la sudah jelas yo tentang penerima beasiswa untuk tahun 2015, dan kecil kemngkinan untuk beasiswa S2, karena semua kami alihkan ke S1. Jadi proposal ini dari pada dibuang, kamu la capek-capek buatnyo, yo sini bapak terimo. tapi itu tadi, kecik kemungkinan untuk dapet".
Saya tau, muka mbak Dewi berkaca-kaca. Berjuta semangatnya kemaren seolah lebur diterpa lisan bapak itu. Selanjutnya kami pulang berlapang dada. Tidak lupa mengucapkan terima kasih karena sudah diijinkan masuk dan mengutarakan maksud. Hasilnya, kami serahkan pada sang maha membuat kepastian, Allah SWT.
Menanggapi ini, dalam benakku berfikir. Kenapa harus meniadakan beasiswa S2? Bukankah S1 dan S2 sama-sama pentingnya? apakah dengan menggelontorkan dana ke beasiswa S1 maka akan menuntaskan kebodohan ?. Di sisi lain sebenarnya, Saya menghargai keputusan tersebut, tapi alangkah bagusnya seimbang antara S1 dan S2. Bukankah keduanya sama-sama penting dan beasiswa tersebut sama-sama dibutuhkan oleh pelamar beasiswa S1 dan S2. Beasiswa S2 justru lebih penting, siapa yang akan mendidik para calon sarjana kalau tidak ada kuantitas tenaga pengajarnya yang mendidik? contoh kecil. Kualitas pengajar yang rendah akan juga menghasilkan hasil didik yang rendah juga. termasuk di tingkat perguruan tinggi. Kualitas Dosen yang rendah maka juga akan menghasilkan sarjana yang kualitasnya rendah juga.
Oleh karena itulah, maka harus seimbang, antara beasiswa S1, S2 bahkan S3. Karena semuanya sama-sama penting. semakin tinggi level grade stratanya maka semakin dibutuhkan tenaganya di negara ini. bukahkah begitu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo dikasih masukan ya...