Bersama angin yang berembus masuk
ke jendela kamarku. Menyentuh pori-pori dan melewati bulu-bulu halus di
tanganku. Seakan menyapaku yang sedang duduk menghadap barat.
Tepat di depan jendela ini aku terdiam. Seakan mulut ini kaku, padahal banyak gerutuan hati yang menendang-nendang ingin keluar dari mulut untuk membebaskan diri dari kekesalan hati.
Mengumpat-ngumpat lebih tepatnya.
Tepat di depan jendela ini aku terdiam. Seakan mulut ini kaku, padahal banyak gerutuan hati yang menendang-nendang ingin keluar dari mulut untuk membebaskan diri dari kekesalan hati.
Mengumpat-ngumpat lebih tepatnya.
Tergelincirnya matahari yang
merah merekat masih jelas tertangkap kornea mataku. Burung gereja berlalu
lalang di antara diri ini, seakan menyerukan bahwa terang kan berganti malam. Aku
terus duduk diam di depan bingkai kaca jendela kamarku. tepat pukul 18:00,
kupandangi sekitar tampak sepi, masih tampak jelas orang-orang berlalu lalang
di jalan depan rumahku, namun tampak redup. Kali ini ingin kupejamkan mata
saja.
Kelopak mata menutup dengan
sendirinya. Yang ada adalah asa yang terlintas adalah potongan-potongan
kejadian hidupku. Potongan kejadian satu hari yang lalupun terlintas. Tanggal 8
Maret 13, dimana seorang rusmiatiningsih memberanikan diri mengikuti audisi
pesenter yang diikuti oleh beratus-ratus manusia wong kito galo.
Swipe, dan beralih ke kepingan
kejadian, dimana saat-saat aku perform. Memasuki ruangan yang sangat terang.
Terang sekali. Dalam pikiranku kala itu memikirkan berapa watt yang dibutuhkan
untuk lampu-lampu yang menerangkan ini. ho...ho... sesaat aku terlena karena
efek lampu studio. Serasa baru mendarat dan menginjakkan kaki ke bulan purnama.
Semuanya terang. Seketika aku tersadar dari lamunanku. Setitik sinar yang
mengilaukan. Aku ingin menaikkan tanganku dan melindungi mataku dari silau itu.
Namun, sebelum kulakukan itu aku benar-benar tersadar bahwa sinar itu adalah
efek dari gigi mbak-mbak kameramen yang terpantul sinar studio yang bergitu
dahsyat terangnya.
Suara
adzan, memasuki gendang telingaku, dan membuyarkan kepingan kedua ini. save ke
folder “curhatku”. Mati’in laptop dan sholat magrib. Pintar...!!!!! anak
sholehah... :D
Gerutuan hati yang mulai
menendang-nendang mulut. Ingin keluar dan ingin keluar dari persembunyianya.
Membawaku duduk kembali ke kursiku. Ya benar..., kursi yang terletak di depan
jendela kamarku. Mengingat tendangan hati ini semakin bernafsu, maka kumulai
memejamkan mata dan memuntahkanya dalam ketikan jari. Secara otomatis fikiranku
gelap, nafasku mulai terdengar di telingaku sendiri, dan kepingan-kepingan yang
tadi sempat terputus, melintas kembali. Suasana di studio yang seterang
benderang bulan purnama.
Masih terukir jelas, “latahof
wala tahzan innallaha ma’ana”. Jelas sekali bibirku mengatup-ngatupkan do’a
ini. do’a pengusir tegang kata temanku. Dan sampailah tiba giliranku, masuk,
terang, menghayal mendadak dan tiba-tiba silau terpana melihat gigi mbak
kameramen.
“selamat sore Rusmiaa... (mengeja)
Rusmiatiningsih...!!!”
Akupun menoleh, dan melupakan
sejenak hatiku yang meronta akibat silau gigi mbak kameramen tadi. ternyata
telah ada 3 sosok di samping kamera utama tepatnya. Mataku yang tadinya 5 wath
karena silau akibat pesona gigi, dan sekarang seolah membelalak. Meyakinkan
siapa 3 sosok yang sedang duduk itu. Dan tereng...!!!! tereng...!!!! itu dia
jurinya.
Muka juri itu tak asing lagi.
Mereka yang sering nongol di tv lokal. Ya ialah, mereka presenter sesepuh.
Hm... senior maksudku. Jantungku mulai berpacu cepat dan kencang seolah ingin
lari gaya kuda-kuda Gamnam Style. Tapi.... hm... lupakan. Lupakan kuda-kuda.
Lupakan gamnam style. Yang ada adalah sekarang tatapan 3 pasang mata yang
sadis, garang dan brutal. Seakan singa yang mengintai mangsanya. Memandangi
setiap gerikku dari ujung ke ujung dan siap untuk dimangsa.
Aku kikuk, lemas, dan seakan
kakuku di paku dengan cakar ayam penancap gedung-gedung tinggi. Tidak bisa
digerakkan. Membeku sepeti es batu. Jiwa ini seakan terperangkap ke jaring nelayan.
Sungguh terbelenggu. Namun,,, aku mencoba rileks... dengan mesen es teh, sambil
makan empek-empek dan cukanya. Ya enggaklah. Ngayal. Pokoknya setelah
ketegangan yang aku rasakan sekarang saatnya fokus. Microfon dengan kaki
setinggi leherku telah siap merekam suaraku. Dan satu....dua...tiga...........
“ Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh, selamat sore pemirsa.
Berjumpa lagi dengan saya Rusmiatiningsih dalam acara liputan metropolis.
Seperti biasa saya akan menyajikan berita-berita menarik unutk anda. Banjir
yang terjadi di kota Palembang akhir-akhir ini, merupakan fenomena alam yang
terjadi di setiap tahun. Hal ini disampaikan walikota Palembang Edi Santana
Putra. Banjir yang terjadi di kota palembang (seharusnya : banjir yang
melenda kota Palembang) hingga ketinggian
50 cm, memang memberikan efek buruk bagi warga. Oleh karena itu ia berharap,
kedepan warga tetap terus menjaga lingkungan sekitar dan terus memberikan ruang
terbuka hijau untuk warga (seharusnya : untuk resapan air)”*****************
berhenti sejenak linglung.
“pemirsa berikut liputanya”. Padahal pas latihan nggak pake ini. kok
yang keluar kata-kata ini. linglung dan..........
“ permirsa liputan ini mengakhiri jumpa kita sore ini. (seharusnya
ditambahi: saya Rusmiatiningsih dan krue yang bertugas mohon undur diri*namun
LUPA*) saksikan terus liputan metropolis
hanya di PALTV memang punyo kito. Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh”.
Finish........... dan akupun segera keluar dari ruang eksekusi itu.
Kabur............. entah apa hasilnya. Pasrah-pasrah ngenes. Pasrah-pasrah
ngarep. Yang penting sudah plong.
Plong rasane njero dadaku.
Rasane mak plong, njero atiku By:
Didi Kempot.
Tiba-tiba aku tersadar dari
kepingan kejadian itu dan membuka mata. Mengingat barusan tadi sore menyaksikan
pengumuman 20 besar presenter 2013 PALTV. Derup kencang kembali menjalari
jantung. Dan mulai membaca nama-nama dan no urut peserta yang lolos. Mataku
melotot, seakan mau keluar dari tempatnya dan mendekati layar tv. Satu demi
satu aku membaca urutan nama itu.
Dan....1,2,3,4,5,6,7,8,. Sudah 8
finalis yang kubaca. Tak ada namaku atau nomor urutku. Gelisah. Cemas.
Penasaran. Senang. Sedih. Takut. Campur jadi satu. Namun ku menabahkan hati
untuk terus membaca finalis selanjutnya. Dan mataku terbelalak. Finalis ke
sembilan dengan nomor urut 185. Ya benar. Aku tidak salah membaca. 185 lolos.
Hatiku terhenti sejenak meyakinkan bahwa itu nomor 185. Jantungku berdetak
menurun. Seakan mendapat jawaban dari yang dicari. Senang, namun samar.
Benarkan itu 185. Nomor urut yang tak asing bagiku. Namun hati terus dipenjara
kegelisahan. Akupun membaca namanya untuk menyakinkan.
“Qori bla...bla..bla”. benar. Itu
185. Namun nama pesertanya Q ori. Kegelisahanku
kembali menjadi-jadi dan mencoba-coba mengingat kembali nomor pesertaku.
Memoriku mencari. Dan muncul angka..... “seratus delapan.....” hm... akupun
mengingat kembali. “seratus delapan empat”. Ya benar. Nomor pesertaku adalah
184. Seketika, detik jam terasa berhenti. Semuanya berhenti dan berhenti. Hanya
air, air mata yang ingin keluar dari bendunganya. Dan akhirnya menetes juga.
Terus tetap membaca sampai
peserta 20. Namun tak kudapati nomor urut ataupun namaku tertera. Ternyata aku
tidak lolos.
Hm.... chanel tv aku pindah. Dan
gerutuan hati menjadi-jadi. Inilah dia. Dia . yang sedari dari ingin
mengumpat-umpat tak terima. Memprotes kenapa nama ini tidak masuk. Kecewa.
Hancur dan retak-retak.
Namun, sebelum mulut ini mulai
mengumpat ketidakpuasan, maka cepat-cepat aku menata hati. Menarik nafas 3 kali
dan mengeluarkannya lewat mulut. Dan akhirnya rileks yang kudapat. Mencoba
menerima dengan hasil ini. menyakini bahwa sesuatu yang kita inginkan belum
tentu kita dengan mudah didapatkan. Perlu perjuangan keras dan i’tikat tinggi.
Aku tersenyum. Bagaikan anak
kecil yang belajar berjalan. Ketika ia mencoba berdiri untuk pertama kalinya,
ia terjatuh. Sakit dan tangis yang didapat. Namun, anak kecil itu esok tidak
butuh waktu lama untuk mencoba kembali berdiri dan seakan melupakan rasa sakit
yang pernah ia dapatkan. Anak kecil ini tidak putus asa untuk keinginanya.
Keinginanya berdiri, berjalan dan berlari kencang.
Aku. Aku malu. Malu karena luka
kecil ini sebenarnya tak pantas untuk ditangisi. Aku menyesal kalau harus
berlama-lama kecewa hal sekecil ini. seharusnya aku melihat pelajaran anak
kecil itu yang terus berusaha meski sering kali ia terjatuh dan sakit.
Setidaknya, ini langkah awalku.
Kutarik air mataku. Kubuang kecewaku. Dan kuhadirkan optimis unutk tetap
mencoba dan mencoba untuk berdiri, berjalan dan berlari sekencang kuda sumbawa.
Sabtu, 09 Maret 2013
21;35 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo dikasih masukan ya...