Kamis, 18 Juli 2013

KEPINGAN SENJA


Bersama angin yang berembus masuk ke jendela kamarku. Menyentuh pori-pori dan melewati bulu-bulu halus di tanganku. Seakan menyapaku yang sedang duduk menghadap barat.
Tepat di depan jendela ini aku terdiam. Seakan mulut ini kaku, padahal banyak gerutuan hati yang menendang-nendang ingin keluar dari mulut untuk membebaskan diri dari kekesalan hati.
Mengumpat-ngumpat lebih tepatnya.
Tergelincirnya matahari yang merah merekat masih jelas tertangkap kornea mataku. Burung gereja berlalu lalang di antara diri ini, seakan menyerukan bahwa terang kan berganti malam. Aku terus duduk diam di depan bingkai kaca jendela kamarku. tepat pukul 18:00, kupandangi sekitar tampak sepi, masih tampak jelas orang-orang berlalu lalang di jalan depan rumahku, namun tampak redup. Kali ini ingin kupejamkan mata saja.

Kelopak mata menutup dengan sendirinya. Yang ada adalah asa yang terlintas adalah potongan-potongan kejadian hidupku. Potongan kejadian satu hari yang lalupun terlintas. Tanggal 8 Maret 13, dimana seorang rusmiatiningsih memberanikan diri mengikuti audisi pesenter yang diikuti oleh beratus-ratus manusia wong kito galo.
Swipe, dan beralih ke kepingan kejadian, dimana saat-saat aku perform. Memasuki ruangan yang sangat terang. Terang sekali. Dalam pikiranku kala itu memikirkan berapa watt yang dibutuhkan untuk lampu-lampu yang menerangkan ini. ho...ho... sesaat aku terlena karena efek lampu studio. Serasa baru mendarat dan menginjakkan kaki ke bulan purnama. Semuanya terang. Seketika aku tersadar dari lamunanku. Setitik sinar yang mengilaukan. Aku ingin menaikkan tanganku dan melindungi mataku dari silau itu. Namun, sebelum kulakukan itu aku benar-benar tersadar bahwa sinar itu adalah efek dari gigi mbak-mbak kameramen yang terpantul sinar studio yang bergitu dahsyat terangnya.
Suara adzan, memasuki gendang telingaku, dan membuyarkan kepingan kedua ini. save ke folder “curhatku”. Mati’in laptop dan sholat magrib. Pintar...!!!!! anak sholehah... :D
Gerutuan hati yang mulai menendang-nendang mulut. Ingin keluar dan ingin keluar dari persembunyianya. Membawaku duduk kembali ke kursiku. Ya benar..., kursi yang terletak di depan jendela kamarku. Mengingat tendangan hati ini semakin bernafsu, maka kumulai memejamkan mata dan memuntahkanya dalam ketikan jari. Secara otomatis fikiranku gelap, nafasku mulai terdengar di telingaku sendiri, dan kepingan-kepingan yang tadi sempat terputus, melintas kembali. Suasana di studio yang seterang benderang bulan purnama.
Masih terukir jelas, “latahof wala tahzan innallaha ma’ana”. Jelas sekali bibirku mengatup-ngatupkan do’a ini. do’a pengusir tegang kata temanku. Dan sampailah tiba giliranku, masuk, terang, menghayal mendadak dan tiba-tiba silau terpana melihat gigi mbak kameramen.
“selamat sore Rusmiaa... (mengeja) Rusmiatiningsih...!!!”
Akupun menoleh, dan melupakan sejenak hatiku yang meronta akibat silau gigi mbak kameramen tadi. ternyata telah ada 3 sosok di samping kamera utama tepatnya. Mataku yang tadinya 5 wath karena silau akibat pesona gigi, dan sekarang seolah membelalak. Meyakinkan siapa 3 sosok yang sedang duduk itu. Dan tereng...!!!! tereng...!!!! itu dia jurinya.
Muka juri itu tak asing lagi. Mereka yang sering nongol di tv lokal. Ya ialah, mereka presenter sesepuh. Hm... senior maksudku. Jantungku mulai berpacu cepat dan kencang seolah ingin lari gaya kuda-kuda Gamnam Style. Tapi.... hm... lupakan. Lupakan kuda-kuda. Lupakan gamnam style. Yang ada adalah sekarang tatapan 3 pasang mata yang sadis, garang dan brutal. Seakan singa yang mengintai mangsanya. Memandangi setiap gerikku dari ujung ke ujung dan siap untuk dimangsa.
Aku kikuk, lemas, dan seakan kakuku di paku dengan cakar ayam penancap gedung-gedung tinggi. Tidak bisa digerakkan. Membeku sepeti es batu. Jiwa ini seakan terperangkap ke jaring nelayan. Sungguh terbelenggu. Namun,,, aku mencoba rileks... dengan mesen es teh, sambil makan empek-empek dan cukanya. Ya enggaklah. Ngayal. Pokoknya setelah ketegangan yang aku rasakan sekarang saatnya fokus. Microfon dengan kaki setinggi leherku telah siap merekam suaraku. Dan satu....dua...tiga...........
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh, selamat sore pemirsa. Berjumpa lagi dengan saya Rusmiatiningsih dalam acara liputan metropolis. Seperti biasa saya akan menyajikan berita-berita menarik unutk anda. Banjir yang terjadi di kota Palembang akhir-akhir ini, merupakan fenomena alam yang terjadi di setiap tahun. Hal ini disampaikan walikota Palembang Edi Santana Putra. Banjir yang terjadi di kota palembang (seharusnya : banjir yang melenda kota Palembang) hingga ketinggian 50 cm, memang memberikan efek buruk bagi warga. Oleh karena itu ia berharap, kedepan warga tetap terus menjaga lingkungan sekitar dan terus memberikan ruang terbuka hijau untuk warga (seharusnya : untuk resapan air)”***************** berhenti sejenak linglung.
pemirsa berikut liputanya”. Padahal pas latihan nggak pake ini. kok yang keluar kata-kata ini. linglung dan..........
permirsa liputan ini mengakhiri jumpa kita sore ini. (seharusnya ditambahi: saya Rusmiatiningsih dan krue yang bertugas mohon undur diri*namun LUPA*) saksikan terus liputan metropolis hanya di PALTV memang punyo kito. Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh”. Finish........... dan akupun segera keluar dari ruang eksekusi itu. Kabur............. entah apa hasilnya. Pasrah-pasrah ngenes. Pasrah-pasrah ngarep. Yang penting sudah plong.
Plong rasane njero dadaku.
Rasane mak plong, njero atiku By: Didi Kempot.
Tiba-tiba aku tersadar dari kepingan kejadian itu dan membuka mata. Mengingat barusan tadi sore menyaksikan pengumuman 20 besar presenter 2013 PALTV. Derup kencang kembali menjalari jantung. Dan mulai membaca nama-nama dan no urut peserta yang lolos. Mataku melotot, seakan mau keluar dari tempatnya dan mendekati layar tv. Satu demi satu aku membaca urutan nama itu.
Dan....1,2,3,4,5,6,7,8,. Sudah 8 finalis yang kubaca. Tak ada namaku atau nomor urutku. Gelisah. Cemas. Penasaran. Senang. Sedih. Takut. Campur jadi satu. Namun ku menabahkan hati untuk terus membaca finalis selanjutnya. Dan mataku terbelalak. Finalis ke sembilan dengan nomor urut 185. Ya benar. Aku tidak salah membaca. 185 lolos. Hatiku terhenti sejenak meyakinkan bahwa itu nomor 185. Jantungku berdetak menurun. Seakan mendapat jawaban dari yang dicari. Senang, namun samar. Benarkan itu 185. Nomor urut yang tak asing bagiku. Namun hati terus dipenjara kegelisahan. Akupun membaca namanya untuk menyakinkan.
“Qori bla...bla..bla”. benar. Itu 185. Namun nama pesertanya Q ori. Kegelisahanku kembali menjadi-jadi dan mencoba-coba mengingat kembali nomor pesertaku. Memoriku mencari. Dan muncul angka..... “seratus delapan.....” hm... akupun mengingat kembali. “seratus delapan empat”. Ya benar. Nomor pesertaku adalah 184. Seketika, detik jam terasa berhenti. Semuanya berhenti dan berhenti. Hanya air, air mata yang ingin keluar dari bendunganya. Dan akhirnya menetes juga.
Terus tetap membaca sampai peserta 20. Namun tak kudapati nomor urut ataupun namaku tertera. Ternyata aku tidak lolos.
Hm.... chanel tv aku pindah. Dan gerutuan hati menjadi-jadi. Inilah dia. Dia . yang sedari dari ingin mengumpat-umpat tak terima. Memprotes kenapa nama ini tidak masuk. Kecewa. Hancur dan retak-retak.
Namun, sebelum mulut ini mulai mengumpat ketidakpuasan, maka cepat-cepat aku menata hati. Menarik nafas 3 kali dan mengeluarkannya lewat mulut. Dan akhirnya rileks yang kudapat. Mencoba menerima dengan hasil ini. menyakini bahwa sesuatu yang kita inginkan belum tentu kita dengan mudah didapatkan. Perlu perjuangan keras dan i’tikat tinggi.
Aku tersenyum. Bagaikan anak kecil yang belajar berjalan. Ketika ia mencoba berdiri untuk pertama kalinya, ia terjatuh. Sakit dan tangis yang didapat. Namun, anak kecil itu esok tidak butuh waktu lama untuk mencoba kembali berdiri dan seakan melupakan rasa sakit yang pernah ia dapatkan. Anak kecil ini tidak putus asa untuk keinginanya. Keinginanya berdiri, berjalan dan berlari kencang.
Aku. Aku malu. Malu karena luka kecil ini sebenarnya tak pantas untuk ditangisi. Aku menyesal kalau harus berlama-lama kecewa hal sekecil ini. seharusnya aku melihat pelajaran anak kecil itu yang terus berusaha meski sering kali ia terjatuh dan sakit.
Setidaknya, ini langkah awalku. Kutarik air mataku. Kubuang kecewaku. Dan kuhadirkan optimis unutk tetap mencoba dan mencoba untuk berdiri, berjalan dan berlari sekencang kuda sumbawa.
Sabtu, 09 Maret 2013
21;35 wib.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo dikasih masukan ya...