KAPAN LU PULANG KAMPUNG …?????
Sebuah desa terpencil dan
pelosok dari sebuah kabupaten yang belum naik daun. Dikala masyarakat Indonesia
masih memicingkan sebelah matanya, juga gendang telinga mengencang isyarat belum
pernah mendengar kota kecil ini. Namun saya seakan sudah mendarah daging di
kota ini.
“Pati Bumi Mina Tani”.
Ya… ini adalah selogan kota Pati Jawa Tengah.
Di dalamnya terdapat beberapa desa kecil nan unik. Desa Sendang Soko.
Disanalah aku dilahirkan.
Tang….tung…tang…tung…!!!!!
suara batu yang dipukul-pukul. Suara seperti ini tak enggan lenggang dari desa
ini. Setiap pagi bahkan setelah subuh bunyi-bunyian itu selalu bertabuh. Warga
memang bukan tanpa sengaja membuat bunyi-bunyian ini setiap harinya bahkan
sengaja banget. Tak jarang hal ini membangunkan warga sekitar. Saya ?. ikut
terbangun juga lah. Alarm alami gitu ceritanya. Suaranya mecah gendang telinga
banget. Berisik…!!!! Sumpah…!!!. Trus, mau coba marah gara-gara ini ? enggak
mungkin. Yang ada elu malahan yang digamparin warga kampung.
Suara ini adalah suara
“nggepuk”. Alias suatu proses pertama dalam pembuatan “sapu kelud”. Sapu yang
terbuat dari sabut kelapa. Nggepuk adalah proses penghancuran kulit kelapa
menjadi sabut kelapa sampai sedemikian rupanya hingga siap diproduksi menjadi
sapu kelud. Caranya adalah dengan meletakkan kulit kelapa diatas batu gepeng
besar dan dipukul-pukul menggunakan pemukul. Sehingga otomatis menghasilkan
bunyi tang….tung…tang…tung… yang seperti batu dipukul pake balok dan dilakukan
di pagi hari bahkan subuh. Suaranya nyaring banget. Serunya lagi ini tidak
dilakukan satu orang saja. Bahkan hampir setiap rumah melakukan kegiatan ini,
tak jarang bunyinya bersahut-sahutan dari rumah satu ke rumah lainya dan
menjadi musik alami di setiap paginya. Yaps… benar. Ini adalah mata pencaharian
warga desa Sendang Soko selain bertani di sawah.
Tak terkecuali nenek
saya. Beliau juga berprofesi sebagai pembuat sapu, dan kegiatan ini sudah tidak
asing lagi bagi saya. Bahkan saya juga ikut membantu. He he sebenarnya si
modus. Supaya bisa dikasih uang jajan lebih. He he he. Satu kali bantu dihargai
seribu rupiah. Lumayan bisa buat beli nasi kucing. Kala itu nasi kucing masih
seharga Rp.500 rupiah. Sisanya untuk beli es teh. Hal ini yang memicu saya giat
membantu nenek membuat sapu kelud.
Sebenarnya sih setiap
hari sekolah dikasih jatah Rp.1.000 untuk uang saku. Tapi apesnya dengan uang
segitu enggak cukup buat beli nasi kucing dan es teh setiap istirahat sekolah.
Kegiatan sekolah yang mendadak seperti fotocopy, bayar uang kas, uang tabungan,
uang sukarela dan akhirnya kalo uang saku nggak cukup buat bayar semua itu,
Nggak jarang akhirnya saya hanya melongok di sudut kelas sambil memandang
kantin disebelahnya yang tembus pandang oleh kaca putih bening. Ngiler….???? Ya
iyalah. Huh pake nanya lagi.
Oke, baiklah, sambil
ngelap iler, mari kita lanjutkan ceritanya. Saya tinggal sama nenek. Jadi kalo
apa-apa ya mintanya sama beliau. Sebenarnya saya ingin bilang ke nenek kalo
uang sakunya itu kurang buat keseharian sekolahku. Tapi, melihat kondisi
nenekku yang pas-pasan gini, lebih baik saya bersabar. Iya. bersabar sambil
ngelap iler. Sruuuut….
Nenek baru punya uang
setiap beliau kepasar dan menjual sapu-sapu keludnya itu. Biasanya sebulan dua
kali. Jadi dua minggu kemudian barulah nenek ada uang. Tak jarang juga ketika
nenek habis pulang pasar dan sapu-sapunya terjual laris, nenek memberiku uang
lebih. Jadi ya cukup bersukur dengan keadaan ini.
Next, kehidupanku
berjalan normal. suasana pedesaan yang asri. Terbentang luas warna kuning
keemasan tatkala padi menguning. Setiap pagi canda tawa tersungging di
segerombolan anak-anak sekolah mengayuh sepedahnya. Bapak-bapak hulu-hilir pergi kesawahnya.
Ibuk-ibuk sibuk dengan aktifitas membuat sapu kelud. Di malam harinya semua aktifitas
ini seakan terhenti. Kehidupan dunia tidak meraja lela di desa ini. Masjid dan
langgar penuh setiap sholat jama’ah. Rasa kekeluargaan selalu dijunjung sebagai
sesama.
Suatu momen yang selalu
berharga bagi setiap muslim. Tentunya juga bagi saya. Bener banget. Momen
Romadhon. Desa yang sering ditinggalkan penghuninya karena harus merantau nan
jauh disana mendadak rame oleh perantauan yang mudik. Di setiap Ramadhon pun masjid
dan mushola selalu rame oleh suara-suara orang tadarusan. Meski suara gelegar
merconpun tak kalah ramenya juga. Saya selalu dibangunkan nenek untuk subuh
berjamaah di Musolah dekat rumah.
Rupanya teman-teman
sebayaku sudah duluan berkumpul di dalam mushola. Segera aku mengambil wudhlu
dan bergabung dengan mereka. Sholat subuh dilaksanankan dengan hikmat, lantunan
tadarus bersahut-sahutan dari musola yang satu ke musola yang lainya.
“duuuooooorrrr……!!!!”
suara petasan memecah hikmat bacaan ayat suci kami. Aku menoleh ke salah satu
temanku yang juga sedang tadarus Al-Qur’an. Dia pun berhenti sejenak dari
lantunanya dan mengedipkan matanya sambil memberikan isyarat singkat. “inilah
waktunya”. Brrrrrrrrrrrr. Seketika aku dan teman-temanku keluar musola dan
sesegera kabur meninggalkan tadarus.
Wah… ternyata rame banget
di luar. Aku dan yang lainya semakin bersemangat. Ini saatnya maraton.
Muda-mudi semuanya tumpah ruah di jalanan. Ada yang sibuk menghidupkan mercon,
ada yang asyik mengayuh sepedahnya, ada yang saling kenalan dan saya sibuk
bergosip dengan teman-temanku sambil menyusuri jalanan antar desa. Tak jarang
dari maraton ini kita bisa ketemu dengan kawan-kawan lama yang kebetulan mereka
maraton juga. Atau kita sengaja janjian sebelumnya. Jadi, ya maraton sama
dengan reuni. Reuni sambil jalan kaki pokoknya deh. Gembira, seneng, seneng,
dan seneng…
Setelah maraton, kembali
ke aktifitas biasa. Pulang ke rumah masing-masing dan bersiap-siap berangkat ke
sekolah. Masih di suasana desa yang sama, jarak sekolahku tidaklah jauh. Kami
mengayuh sepedah menuju sekolah. Meskipun dalam hal ini kami mengayuh sepedah,
bukan berarti itu dilakukan karena jarak tujuannya dekat. Bukan. Sepedah
merupakan kendaraan yang paling dominan di sini. Dekat atau jauh. Semuanya
lebih suka menggunakan kendaraan bebas polusi ini. Tak jarang pasti akan
terlihat orang-orang mengayuh dijalanan dari pada orang ngegas. Keren kan…?
Kalian akan menikmati suasana udara pagi hari yang alami tanpa polusi knalpot.
Sawah-sawah hijau terbentang luas tanpa batas. Semuanya memanjakan mata.
Indah….
Sambil ketawa-ketiwi,
suasana seperti itulah yang selalu kami rasakan setiap berangkat sekolah.
Meskipun suasana puasa, tak menjadi halangan untuk tetap mengayuh. Dan,
sampailah kami kesekolah masing-masing. Madrasah Tsanawiyah Tarbiyatul
Islamiyah Tambah Mulyo, ini MTS kebanggaanku nih. Meski ia masih swasta, ilmu
yang didapat tak kalah dengan sekolah negeri. Aku pun senang menimba ilmu di
sini. Selain ilmu umum ku dapat, ilmu agama pun lebih dominan.
So, bagi siswa-siswa yang
basiknya nggak suka pelajaran-pelajaran umum kayak ngitung, nginggris ya di sini
mereka pasti seolah mendapat surga. Berbanding terbalik dengan siswa-siswa yang
basicnya pelajaran umum. Mereka pasti mengeluh jontor karena pelajaran agamanya
lebih dominan. Wajar saja setiap hari pasti ada tugas ngapal. Ni misalnya
ngapalin Nahwu sorof, ngapalin Kitab Safinatun Najah, Kitab Kuning, Kitab Fatul
Gharib, Kitab Ta’lim, dan masih banyak lagi. Nah loh, kliyeran nggak otak kamu
ngapalin kitab-kitab ini? Yang ada bibir lu bakal kayak spongebob keracunan
sabun colek. Komat-kamit menghafal sambil mengartikanya dengan bahasa jawa
halus. Nah lu, tambah pecah deh otak. Belum lagi nulis artinya harus dan wajib
menggunakan arab. Apalagi kalo suasana Ramadhon kayak gini. Bekalnya para siswa
ya Al-Qur’an. Sebelum mulai pelajaran harus tadarus dulu. Habis itu baca
solawat Nariyah 12 kali. Jontor…jontor…. Asli. So… selamat menempuh otak kamu
yang jontor-jontor kopyor….. ha ha ha.
Benar. Sekolah saya ini
berbasic agamis. Namanya juga madrasah gitu loh. Tapi saya sangat senang. Saya
menjalani sekolah disini berjalan biasa saja. Notabene ni, saya lebih suka
ngapal dari pada ngitung. He he . sombong sedikit ah. Jadi ya, meski nilai
pelajaran umum saya jeblok tapi nilai rapot masih terselamatkan oleh
nilai-nilai pelajaran Al-kitab seperti yang saya sebutkan tadi. So, minimal
dapet rangking 9 dikelas. Itu udah seneng banget. Salto sambil goyang itik. Oh
kala itu belum ada goyang itik. Adayang goyang inul. Oke kita ganti. “dapet
rangking 9 dikelas, salto sambil goyang itik”. WUEH
Tapi tiba-tiba ……….“dettssszzzzziiiiiiiing”………
aku pun terbangun dari lamunan. Melihat udara pagi yang berhembus biasa saja.
Kutengok keluar jendela. Tak ada sawah. Tak ada anak-anak sekolah mengayuh
sepedah. Tak ada bapak-bapak yang berhias cangkul dipundaknya. Tak ada
ibuk-ibuk yang tang ting tung nggepuk sapu. Korneaku menajam melihat sekitar.
seketika tenggorokanku haus. Ingin rasanya mengambil minum. Eits…teringat aku
sedang puasa ramadhon. Kuurungkan memikirkan air minum, fikiranku barusan
ternyata flash back ke masa lalu. Suasana romadon desaku 9 tahun silam.
Setelah 6 tahun yang lalu
nenek meninggal. Permanen 6 tahun lalu aku pindah ke kota ini. Palembang. Kota
empek-empek. Kota metropolitan. Menjadi keseharian bagiku. Dan akhirnya aku
juga memutuskan untuk melanjutkan strata 1 di sini. Bukan karena alasan dan
pilihan. Lebih karena kedua orang tuaku tinggal dan telah menetap di sini.
Akupun nurut.
Jangan Tanya, rinduku
dengan kampung halamanku Desa Sendang soko selalu menggelora di bilik jantung.
Belum lagi ketika suasana Ramadon seperti ini. Ingatanku seakan
menceruap-ceruap masa-masa kala itu. Berita-berita televisi yang gencar
memberitakan suasana mudik. Cerita-cerita tetangga yang sibuk dengan
perlengkapan mudiknya. Ditambah sms-sms dari temen-temen lama yang seakan
tiba-tiba bermunculan di setiap suasana mudik. Pertanyaan “ kamu tanggal berapa
mudiknya?” . pertanyaan yang tak mampu aku jawab. Justru menyiksa batin dan
membelenggu. Dan akupun hanya menopang dagu.
Sebenarnya ingin rasanya
setiap tahun pulang ke kampung halaman. Saya asli jawa. Saya lahir dijawa. Dan
saya besar dijawa. Alasan ini tidak juga cukup mengambil hati kedua orang tuaku
untuk mengizinkanku pulang kejawa. Alasanya biaya pulang kampung sekarang
mahal. Belum lagi dijumlahkan semuanya. Karena jika pulang satu, maka seluuruh
keluarga harus pulang semuanya. Tentunya memakan biaya yang tidak sedikit.
Hati menentang
sebenarnya. Namun aku berusaha memaklumi alasan-alasan kedua orang tuaku.
Alasan ekonomi. Maklum saya belum lulus kuliah. Apa-apa masih menengadah dengan
ortu. Jadi saya lebih memilih untuk sami’na wa atho’na. he he he denger dan
ngikut.
Pernah suatu ketika.
Ramadhon satu tahun yang lalu. Sangking ngebetnya pulang kampung. Saya berniat
mudik sendirian. Satu alasan yang kuat adalah ingin menjenguk makam nenek. Enggak
menggubris kata ortu lagi. Pokoknya sudah bulat pulang kekampung. Titik.
Diam-diam saya menabung
hari demi hari sebelumnya. Terkumpul uang 500 ribu rupiah. Biaya transport 250
dan bisa pulang pergi pikirku. Biaya makan? Entahlah. Saya bisa nebeng dengan
sanak dulur disana nantinya. Saya bersikeras pulang. Diam-diampun saya sudah
memesan tiketnya. Saya pun diam-diam juga melipat baju ke dalam tas.
Apes…!!! Ketauan ibuk.
Sontak akupun terkejut dan mempersiapkan penebalan telinga jika di sembur
mati-matian. Apes. Pasti kena oceh ni. Tapi…., beliau hanya duduk terdiam dan
tak kusangka beliau meneteskan air mata. Tak ada suara yang beliau katakan
kepadaku. Sunyi senyap. Yang ada hanyalah air yang mengalir dari kedua mata
wanita ini.
Aku menghempaskan tubuhku
di kasur. Tempat yang sama juga dari posisi duduk diamnya ibukku. Akupun tak
kuasa menahan bendungan air mata ini. Aku ingin mudik. Aku sudah kangen dengan
suasana desa itu. Aku merindukan suasana itu. Manun, tetesan mata wanita ini
membuat hatiku seolah dipukul dan diingatkan. Kuurungkan niat ini. Dan aku
memberanikan diri mengusap air mata wanita yang melahirkanku 23 tahun yang
lalu. Bodohnya aku jika aku egois dan memikirkan tigasi individuku.
“Kapan pulang
kampung…????? Kapan…??? KAPAN…??? KAPAN LU PULANG KAMPUNG…???. Aku selalu
tersenyum kecil ketika pertanyaan khas Romadon itu disematkan untukku. Meski
tak bisa menjawab. Angan-angan mudik. Masih bersemanyam manis di relung hati.
Ditahun kelima keberadaanku disini, selalu menengadahkan hati dalam setiap
sujudku. Aku kangen almarhum nenek. “meski kini ragamu tak bisa kami sentuh,
suatu saat nanti kami akan hadir menyentuh tempat bersemayam indahmu nek”. Aku
yakin suatu saat nanti, entah itu kapan. Saya dan keluargaku akan pulang
kampung, ziarah ke makam nenek,dan Tersenyum lepas tanpa beban menikmati lagi
suasana Desa Sendang Soko Kabupaten Pati Jawa Tengah.
Wait me…. Kampung halamanku. *remas tangan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo dikasih masukan ya...