Rabu, 07 Agustus 2013

KAPAN LU PULANG KAMPUNG ???

KAPAN LU PULANG KAMPUNG …?????
Sebuah desa terpencil dan pelosok dari sebuah kabupaten yang belum naik daun. Dikala masyarakat Indonesia masih memicingkan sebelah matanya, juga gendang telinga mengencang isyarat belum pernah mendengar kota kecil ini. Namun saya seakan sudah mendarah daging di kota ini.

“Pati Bumi Mina Tani”. Ya… ini adalah selogan kota Pati Jawa Tengah.  Di dalamnya terdapat beberapa desa kecil nan unik. Desa Sendang Soko. Disanalah aku dilahirkan.

Tang….tung…tang…tung…!!!!! suara batu yang dipukul-pukul. Suara seperti ini tak enggan lenggang dari desa ini. Setiap pagi bahkan setelah subuh bunyi-bunyian itu selalu bertabuh. Warga memang bukan tanpa sengaja membuat bunyi-bunyian ini setiap harinya bahkan sengaja banget. Tak jarang hal ini membangunkan warga sekitar. Saya ?. ikut terbangun juga lah. Alarm alami gitu ceritanya. Suaranya mecah gendang telinga banget. Berisik…!!!! Sumpah…!!!. Trus, mau coba marah gara-gara ini ? enggak mungkin. Yang ada elu malahan yang digamparin warga kampung.

Suara ini adalah suara “nggepuk”. Alias suatu proses pertama dalam pembuatan “sapu kelud”. Sapu yang terbuat dari sabut kelapa. Nggepuk adalah proses penghancuran kulit kelapa menjadi sabut kelapa sampai sedemikian rupanya hingga siap diproduksi menjadi sapu kelud. Caranya adalah dengan meletakkan kulit kelapa diatas batu gepeng besar dan dipukul-pukul menggunakan pemukul. Sehingga otomatis menghasilkan bunyi tang….tung…tang…tung… yang seperti batu dipukul pake balok dan dilakukan di pagi hari bahkan subuh. Suaranya nyaring banget. Serunya lagi ini tidak dilakukan satu orang saja. Bahkan hampir setiap rumah melakukan kegiatan ini, tak jarang bunyinya bersahut-sahutan dari rumah satu ke rumah lainya dan menjadi musik alami di setiap paginya. Yaps… benar. Ini adalah mata pencaharian warga desa Sendang Soko selain bertani di sawah.

Tak terkecuali nenek saya. Beliau juga berprofesi sebagai pembuat sapu, dan kegiatan ini sudah tidak asing lagi bagi saya. Bahkan saya juga ikut membantu. He he sebenarnya si modus. Supaya bisa dikasih uang jajan lebih. He he he. Satu kali bantu dihargai seribu rupiah. Lumayan bisa buat beli nasi kucing. Kala itu nasi kucing masih seharga Rp.500 rupiah. Sisanya untuk beli es teh. Hal ini yang memicu saya giat membantu nenek membuat sapu kelud.

Sebenarnya sih setiap hari sekolah dikasih jatah Rp.1.000 untuk uang saku. Tapi apesnya dengan uang segitu enggak cukup buat beli nasi kucing dan es teh setiap istirahat sekolah. Kegiatan sekolah yang mendadak seperti fotocopy, bayar uang kas, uang tabungan, uang sukarela dan akhirnya kalo uang saku nggak cukup buat bayar semua itu, Nggak jarang akhirnya saya hanya melongok di sudut kelas sambil memandang kantin disebelahnya yang tembus pandang oleh kaca putih bening. Ngiler….???? Ya iyalah. Huh pake nanya lagi.

Oke, baiklah, sambil ngelap iler, mari kita lanjutkan ceritanya. Saya tinggal sama nenek. Jadi kalo apa-apa ya mintanya sama beliau. Sebenarnya saya ingin bilang ke nenek kalo uang sakunya itu kurang buat keseharian sekolahku. Tapi, melihat kondisi nenekku yang pas-pasan gini, lebih baik saya bersabar. Iya. bersabar sambil ngelap iler. Sruuuut….

Nenek baru punya uang setiap beliau kepasar dan menjual sapu-sapu keludnya itu. Biasanya sebulan dua kali. Jadi dua minggu kemudian barulah nenek ada uang. Tak jarang juga ketika nenek habis pulang pasar dan sapu-sapunya terjual laris, nenek memberiku uang lebih. Jadi ya cukup bersukur dengan keadaan ini.

Next, kehidupanku berjalan normal. suasana pedesaan yang asri. Terbentang luas warna kuning keemasan tatkala padi menguning. Setiap pagi canda tawa tersungging di segerombolan anak-anak sekolah mengayuh sepedahnya.  Bapak-bapak hulu-hilir pergi kesawahnya. Ibuk-ibuk sibuk dengan aktifitas membuat sapu kelud. Di malam harinya semua aktifitas ini seakan terhenti. Kehidupan dunia tidak meraja lela di desa ini. Masjid dan langgar penuh setiap sholat jama’ah. Rasa kekeluargaan selalu dijunjung sebagai sesama.

Suatu momen yang selalu berharga bagi setiap muslim. Tentunya juga bagi saya. Bener banget. Momen Romadhon. Desa yang sering ditinggalkan penghuninya karena harus merantau nan jauh disana mendadak rame oleh perantauan yang mudik. Di setiap Ramadhon pun masjid dan mushola selalu rame oleh suara-suara orang tadarusan. Meski suara gelegar merconpun tak kalah ramenya juga. Saya selalu dibangunkan nenek untuk subuh berjamaah di Musolah dekat rumah.

Rupanya teman-teman sebayaku sudah duluan berkumpul di dalam mushola. Segera aku mengambil wudhlu dan bergabung dengan mereka. Sholat subuh dilaksanankan dengan hikmat, lantunan tadarus bersahut-sahutan dari musola yang satu ke musola yang lainya.

“duuuooooorrrr……!!!!” suara petasan memecah hikmat bacaan ayat suci kami. Aku menoleh ke salah satu temanku yang juga sedang tadarus Al-Qur’an. Dia pun berhenti sejenak dari lantunanya dan mengedipkan matanya sambil memberikan isyarat singkat. “inilah waktunya”. Brrrrrrrrrrrr. Seketika aku dan teman-temanku keluar musola dan sesegera kabur meninggalkan tadarus.

Wah… ternyata rame banget di luar. Aku dan yang lainya semakin bersemangat. Ini saatnya maraton. Muda-mudi semuanya tumpah ruah di jalanan. Ada yang sibuk menghidupkan mercon, ada yang asyik mengayuh sepedahnya, ada yang saling kenalan dan saya sibuk bergosip dengan teman-temanku sambil menyusuri jalanan antar desa. Tak jarang dari maraton ini kita bisa ketemu dengan kawan-kawan lama yang kebetulan mereka maraton juga. Atau kita sengaja janjian sebelumnya. Jadi, ya maraton sama dengan reuni. Reuni sambil jalan kaki pokoknya deh. Gembira, seneng, seneng, dan seneng…

Setelah maraton, kembali ke aktifitas biasa. Pulang ke rumah masing-masing dan bersiap-siap berangkat ke sekolah. Masih di suasana desa yang sama, jarak sekolahku tidaklah jauh. Kami mengayuh sepedah menuju sekolah. Meskipun dalam hal ini kami mengayuh sepedah, bukan berarti itu dilakukan karena jarak tujuannya dekat. Bukan. Sepedah merupakan kendaraan yang paling dominan di sini. Dekat atau jauh. Semuanya lebih suka menggunakan kendaraan bebas polusi ini. Tak jarang pasti akan terlihat orang-orang mengayuh dijalanan dari pada orang ngegas. Keren kan…? Kalian akan menikmati suasana udara pagi hari yang alami tanpa polusi knalpot. Sawah-sawah hijau terbentang luas tanpa batas. Semuanya memanjakan mata. Indah….

Sambil ketawa-ketiwi, suasana seperti itulah yang selalu kami rasakan setiap berangkat sekolah. Meskipun suasana puasa, tak menjadi halangan untuk tetap mengayuh. Dan, sampailah kami kesekolah masing-masing. Madrasah Tsanawiyah Tarbiyatul Islamiyah Tambah Mulyo, ini MTS kebanggaanku nih. Meski ia masih swasta, ilmu yang didapat tak kalah dengan sekolah negeri. Aku pun senang menimba ilmu di sini. Selain ilmu umum ku dapat, ilmu agama pun lebih dominan.

So, bagi siswa-siswa yang basiknya nggak suka pelajaran-pelajaran umum kayak ngitung, nginggris ya di sini mereka pasti seolah mendapat surga. Berbanding terbalik dengan siswa-siswa yang basicnya pelajaran umum. Mereka pasti mengeluh jontor karena pelajaran agamanya lebih dominan. Wajar saja setiap hari pasti ada tugas ngapal. Ni misalnya ngapalin Nahwu sorof, ngapalin Kitab Safinatun Najah, Kitab Kuning, Kitab Fatul Gharib, Kitab Ta’lim, dan masih banyak lagi. Nah loh, kliyeran nggak otak kamu ngapalin kitab-kitab ini? Yang ada bibir lu bakal kayak spongebob keracunan sabun colek. Komat-kamit menghafal sambil mengartikanya dengan bahasa jawa halus. Nah lu, tambah pecah deh otak. Belum lagi nulis artinya harus dan wajib menggunakan arab. Apalagi kalo suasana Ramadhon kayak gini. Bekalnya para siswa ya Al-Qur’an. Sebelum mulai pelajaran harus tadarus dulu. Habis itu baca solawat Nariyah 12 kali. Jontor…jontor…. Asli. So… selamat menempuh otak kamu yang jontor-jontor kopyor….. ha ha ha.

Benar. Sekolah saya ini berbasic agamis. Namanya juga madrasah gitu loh. Tapi saya sangat senang. Saya menjalani sekolah disini berjalan biasa saja. Notabene ni, saya lebih suka ngapal dari pada ngitung. He he . sombong sedikit ah. Jadi ya, meski nilai pelajaran umum saya jeblok tapi nilai rapot masih terselamatkan oleh nilai-nilai pelajaran Al-kitab seperti yang saya sebutkan tadi. So, minimal dapet rangking 9 dikelas. Itu udah seneng banget. Salto sambil goyang itik. Oh kala itu belum ada goyang itik. Adayang goyang inul. Oke kita ganti. “dapet rangking 9 dikelas, salto sambil goyang itik”. WUEH

Tapi tiba-tiba ……….“dettssszzzzziiiiiiiing”……… aku pun terbangun dari lamunan. Melihat udara pagi yang berhembus biasa saja. Kutengok keluar jendela. Tak ada sawah. Tak ada anak-anak sekolah mengayuh sepedah. Tak ada bapak-bapak yang berhias cangkul dipundaknya. Tak ada ibuk-ibuk yang tang ting tung nggepuk sapu. Korneaku menajam melihat sekitar. seketika tenggorokanku haus. Ingin rasanya mengambil minum. Eits…teringat aku sedang puasa ramadhon. Kuurungkan memikirkan air minum, fikiranku barusan ternyata flash back ke masa lalu. Suasana romadon desaku 9 tahun silam.

Setelah 6 tahun yang lalu nenek meninggal. Permanen 6 tahun lalu aku pindah ke kota ini. Palembang. Kota empek-empek. Kota metropolitan. Menjadi keseharian bagiku. Dan akhirnya aku juga memutuskan untuk melanjutkan strata 1 di sini. Bukan karena alasan dan pilihan. Lebih karena kedua orang tuaku tinggal dan telah menetap di sini. Akupun nurut.

Jangan Tanya, rinduku dengan kampung halamanku Desa Sendang soko selalu menggelora di bilik jantung. Belum lagi ketika suasana Ramadon seperti ini. Ingatanku seakan menceruap-ceruap masa-masa kala itu. Berita-berita televisi yang gencar memberitakan suasana mudik. Cerita-cerita tetangga yang sibuk dengan perlengkapan mudiknya. Ditambah sms-sms dari temen-temen lama yang seakan tiba-tiba bermunculan di setiap suasana mudik. Pertanyaan “ kamu tanggal berapa mudiknya?” . pertanyaan yang tak mampu aku jawab. Justru menyiksa batin dan membelenggu. Dan akupun hanya menopang dagu.

Sebenarnya ingin rasanya setiap tahun pulang ke kampung halaman. Saya asli jawa. Saya lahir dijawa. Dan saya besar dijawa. Alasan ini tidak juga cukup mengambil hati kedua orang tuaku untuk mengizinkanku pulang kejawa. Alasanya biaya pulang kampung sekarang mahal. Belum lagi dijumlahkan semuanya. Karena jika pulang satu, maka seluuruh keluarga harus pulang semuanya. Tentunya memakan biaya yang tidak sedikit.

Hati menentang sebenarnya. Namun aku berusaha memaklumi alasan-alasan kedua orang tuaku. Alasan ekonomi. Maklum saya belum lulus kuliah. Apa-apa masih menengadah dengan ortu. Jadi saya lebih memilih untuk sami’na wa atho’na. he he he denger dan ngikut.

Pernah suatu ketika. Ramadhon satu tahun yang lalu. Sangking ngebetnya pulang kampung. Saya berniat mudik sendirian. Satu alasan yang kuat adalah ingin menjenguk makam nenek. Enggak menggubris kata ortu lagi. Pokoknya sudah bulat pulang kekampung. Titik.

Diam-diam saya menabung hari demi hari sebelumnya. Terkumpul uang 500 ribu rupiah. Biaya transport 250 dan bisa pulang pergi pikirku. Biaya makan? Entahlah. Saya bisa nebeng dengan sanak dulur disana nantinya. Saya bersikeras pulang. Diam-diampun saya sudah memesan tiketnya. Saya pun diam-diam juga melipat baju ke dalam tas.

Apes…!!! Ketauan ibuk. Sontak akupun terkejut dan mempersiapkan penebalan telinga jika di sembur mati-matian. Apes. Pasti kena oceh ni. Tapi…., beliau hanya duduk terdiam dan tak kusangka beliau meneteskan air mata. Tak ada suara yang beliau katakan kepadaku. Sunyi senyap. Yang ada hanyalah air yang mengalir dari kedua mata wanita ini.

Aku menghempaskan tubuhku di kasur. Tempat yang sama juga dari posisi duduk diamnya ibukku. Akupun tak kuasa menahan bendungan air mata ini. Aku ingin mudik. Aku sudah kangen dengan suasana desa itu. Aku merindukan suasana itu. Manun, tetesan mata wanita ini membuat hatiku seolah dipukul dan diingatkan. Kuurungkan niat ini. Dan aku memberanikan diri mengusap air mata wanita yang melahirkanku 23 tahun yang lalu. Bodohnya aku jika aku egois dan memikirkan tigasi individuku.

“Kapan pulang kampung…????? Kapan…??? KAPAN…??? KAPAN LU PULANG KAMPUNG…???. Aku selalu tersenyum kecil ketika pertanyaan khas Romadon itu disematkan untukku. Meski tak bisa menjawab. Angan-angan mudik. Masih bersemanyam manis di relung hati. Ditahun kelima keberadaanku disini, selalu menengadahkan hati dalam setiap sujudku. Aku kangen almarhum nenek. “meski kini ragamu tak bisa kami sentuh, suatu saat nanti kami akan hadir menyentuh tempat bersemayam indahmu nek”. Aku yakin suatu saat nanti, entah itu kapan. Saya dan keluargaku akan pulang kampung, ziarah ke makam nenek,dan  Tersenyum lepas tanpa beban menikmati lagi suasana Desa Sendang Soko Kabupaten Pati Jawa Tengah.
Wait me…. Kampung halamanku. *remas tangan*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo dikasih masukan ya...