Sabtu, 24 Mei 2014

DIGITALISASI DAN SIMPANAN PENGETAHUAN BERSAMA


Buku: Perpustakaan Digital kesinambungan dan dinamika
Pengarang: Putu Laxman Pendit
Halaman : 40-50
Sebelum fenomena dan konsep perpustakaan digital ramai dibicarakan di kalangan pengelola lembaga informasi, ada sebuah perkembangan di bidang industry dan bisnis yang juga bereaksi terhadap kemajuan amat pesat dalam digitalisasi dan teknologi informasi. Perkembangan ini kemudian melahirkan fenomena dan konsep yang kita kenal dengan istilah manajemen pengetahuan. Menurut Beckman 1999, peristiwa penting yang menandai tonggak perkembangan manajemen pengetahuan adalah etika di tahun 1980 perusahaan DEC (Digital Equipment Corporation) dan
Universitas Carnagie Mellon mengembangkan sistem pakar  (expert system) bernama XCON. Sejak itu banyak peneliti yang menuju pada pemanfaatan teknologi untuk mengambil, menghimpun dan memanfaatkan pengetahuan yang tersimpan di kepala manusia. Namun baru enam tahun kemudian istilah “manajemen pengetahuan” diperkenalkan secara formal oleh  Dr. Karl Wiing dalam sebuah pidatonya di konferensi International Labor Organization (Badan Buruh Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Perkembangan dunia internet menyebabkan para teknolog menyadari bahwa sistem komputer harus dapat melayani populasi dengan berbagai kepentingan. Selain itu juga, pengetahuan tidak harus berbentuk satu paket yang rapi dan jelas batas-batasanya. Salah satu isyu terpenting di masa awal fenomena Knowledge Managemen adalah kesulitan mengakuisisi dan menyimpan pengetahuan di dalam organisasi. Isyu ini antara lain juga menyebabkan ketertarikan baru pada diskusi tentang apa yang sebenarnya dimaksud pengetahuan. Definisi-definisi tersebut justru semakin memperlihatkan problematika penyimpanan dan mengelola pengatahuan, sebab pengetahuan bukanlah entitas yang mudah direkam.
Perkembangan pemikiran tentang pengetahuan akhirnya mengarahkan teknologi komputer dan sistem pakar ke tujuan yang berbeda: bukan untuk membuat sistem yang dapat menyimpan sepenuhnya pengetahuan, melainkan sistem yang dapat mendukung manusia menciptakan dan menggunakan pengetahuan untuk kegiatan mereka. Terlebih lagi, pemikiran tentang manajemen penegetahuan berbantuan teknologi komputer juga semakin menyadarkan semua orang bahwa pengetahuan tersebut digunakan bersama-sama di dalam sebuah komunitas, baik berbentuk organisasi yang tertata rapi, maupun dalam bentuk masyarakat yang lebih terbuka. Komunitas ini semakin lama semakin banyak berbentuk komunitas online, mengadalkan jaringan telekomunikasi dan internet untuk saling berhubungan. Di dalam situasi seperti itulah, pada era 1990 an, orang mulai bicara perpustakaan digital.

Komunitas Online dan Pengetahuan Bersama
Secara umum kita menggunakan komunitas online untuk himpunan manusia di internet. ada juga yang menggunkan virtual communities yang didefinisikan sebagai “ frontierless, geographically dispersed community of people and organizations connected via internet or other networks”.
Di definisi tersebut, penekannanya adalah pada ketersebaran geografis yang nyaris tak terbatas. Para anggotanya satu sama lain mungkin tak pernah bertemu muka.
Dalam pengertian yang lebih sempit komunitas online diartikan “ a specific reference to web sites where people congregate online to discuss a subject or to introduce themselves for possible meeting in person”.
Sebuah komunitas selalu punya potensi bertemu in person alias kopi darat selain berhimun di sebuah situs yang mereka kunjungi secara jarak jauh. Dalam komunitas online para anggota saling bertukar data dan informasi. Dari pertukaran ini seringkali muncul informasi baru yang nampaknya semakin kaya. Kemudian berkaitan tentang simpan menyimpan informasi tersebut, menarik pula untuk diperhatikan bagaimana harusnya komunitas online harus menentukan nilai informasi: mana informasi yang baik, dan mana informasi yang buruk, mana informasi yang perlu disimpan karena bernilai informasi tinggi, dan mana informasi yang bersifat sambil lulu saja, sehingga tak perlu disimpan. Penentuan tentang hal-hal ini ditentukan dalam situasi dan kondisi yang khas. Misalhnya, sebuah komunitas memanfaatkan teknologi dan digitalisasi internet untuk melakukan komunikasi tanpa batas. Itu artinya kesepakatan-kesepakatan dapat dibuat tanpa kehadiran pihak-pihak yang terlibat.

Prinsip-prinsip Trusted Repository
Pada tahun 2002, Reseacrh Libraries Group, sebuah asosiasi penyelenggara perpustakaan penelitian di Amerika Serikat secara formal didefinisikan trusted digital repository (sarana penyimpan yang dapat dipercaya) sebagai sebuah sarana penyimoan dengan fasilitas akses jangka panjang yang dapat diandalkan bagi pemanfaatan sumber digital untuk keperluan komunitas tertentu. Sarana penyimpan ini dapat dilihat sebagai salah satu perpustakaan digital yang berkaitan dengan prinsip penggunaan pengetahuan oleh komunitas di dalam sebuah lingkungan digital. Sebagai sebuah sarana, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi adalah:
1.      Bertanggung jawab merawat dalam jangka oangjang semua sumber daya digital yang diserahkan kepadanya untuk kepentingan pengguna di masa kini meupun masa mendatang.
2.      Memiliki sistem organisasi yang tidak hanya mampu mendukung keberlangsungan fungsi penyimpangan digital tersebut, tetapi juga keutuhan informasi digital yang terkandung di dalamnya.
3.      Mampu bertanggung jawab secara financial terhadap keberlangsungan kerja sistem penyimpanan ini.
4.      Memastikan bahwa desain sistem penyimpanan ini memenuhi konvensi dan standar yang sudah disepakati bersama, sehingga ada jaminan terhadap akses dan keamanan informasi digital yang tersimpan di dalamnya.
5.      Memiliki sarana evaluasi yang dapat digunakan untuk selalu memenuhi harapan komunitas, khususnya dalam trustworthiness (dapat dipercaya).
6.      Secara jangka panjang, terbuka dan dapat eksplesit bertnaggung jawab kepada pihak yang menyimpan (depositors) maupun yang menggunakan simpanan tersebut.
7.      Memiliki kebijakan tertulis, catatan kegiatan dan kinerja, yang dapat diperiksa dan diukur untuk membuktikan tanggung jawab tersebut.


Kosep-konsep trusted repository dengan beberapa scenario yang ada di laporan RLG-OCLC.
Sekenario pertama diberlakukan di tingkat nasional, yaitu ketika sebuah perpustakaan nasional di suatu Negara bertanggung jawab terhadap koleksi sumber daya digital termasuk yang berbentuk publikasi online, produk-produk multimedia yang mengandung berbagai objek digital, dan berbagai pangkalan data digital.
Skenario kedua diberlakukan di lingkungan perguruan tinggi yang memiliki sebuah perpustakaan dengan sebuah koleksi besar penting bagi perkembangan ilmu. Koleksi perpustakaan digital di sini tentunya dikembangkan untuk mendukung kegiatan belajar mengajar dan penelitian, berbentuk pangalan data online, jurnal elektronik, karya sivitas akademika, dan materi kuliah serta rekaman-rekaman berkaitan dengan institusi pendidikan itu.
Skenario ketiga diberlakukan di setting sebuah museum yang kini mulai menghimpun objek digital, baik dalam bentuk salinan atau wakil dari koleksi non digital yang disengaja dibuat untuk keperluan pelestarian, salinan yang dibuat untuk keperluan pameran secara online, maupun objek digital asli berupa karya-karya seni budaya digital. Komunitas yang dilayani museum juga amat beragam, namun dapat dilihat sebagai kumpulan dari kelompok-kelompok spesifik, misalnya para peneliti, para seniman, organisasi lain yang menggunakan koleksi digital untuk keperluan komersial, anak-anak sekolah dan masyarakat umum.
Skenario keempat, diterapkan di himpunan e-journals ang dipublikasikan melalui sebuah jaringan komputer. Setiap judul e-journal disimpan setidaknya empat lokasi geografis untuk mengurangi resiko kehilangan data yang disebabkan oleh induk komputer. Akses koleksi bersama ini dikendalikan melalui sistem lisensi perijinan dan dilaksanakan dalam bentuk penggunaan kata sandi untuk setiap pengguna.
Skenario kelima, diterapkan disebuah institusi kecil yang memiliki koleksi digital dalam jumlah cukup besar, misalnya dalam bentuk foto digital, dan secara legal punya kewajiban melestarikan koleksi tersebut walaupun belum tentu punya infrastruktur, dana dan sumber daya manusia yang memadai untuk membangun sistem menyimpan yang local dan mereka kelola sendiri.

Fenomena Instutional Repository
Istilah institusional repository atau “simpanan kelembagaan” merujuk ke sebuah kegiatan menghimpun dan melestarikan koleksi digital yang merupakan hasil karya intelektual dari sebuah komunitas tertentu. Perkembangan pemikiran tentang simpanan kelembagaan juga dikaitkan dengan fenomena open archieve initative yang merebak di penghujung era 1990 an.
Peran perpustakaan digital dalam konteks simpanan kelembagaan pada awalnya juga menjadi bahan diskusi dan perdebatan. Inti dari simpanan kelembagaan ini adalah inisiatif ilmuan atau dosen untuk mengiirim karya mereka dan kesadaran untuk menyimpan karya mereka secara pribadi.
Dari segi kepustakawanan, tantangan yang ditimbulkan oleh masalah penyimpanan dan penemuan kembali dijawab dalam bentuk pengorganisasian kegiatan simpanan kelembagaan dengan mengikuti prinsip-prinsip trusted repository sebagaimana diulas dibagian sebelumnya. Pelembagaan atau formalisasi simpanan kelembagaan menjadi bagian dari kendali institusi perpustakaan digital ini pun tak menghilangkan dinamika selanjutnya yang terjadi di dunia internet, khususnya yang berkaitan dengan produksi dan konsumsi pengetahuan, dan khususnya yang berkaitan dengan semakin luasnya orang memproduksi dan mengkonsumsi informasi sebagai bagian ari upaya mereka mengembangkan pengetahuan.

KOLEKSI DAN ASET DIGITAL
Buku: Perpustakaan Digital : Dinamika dan Kesinambungan
Pengarang: Putu Laxman Pendit
Halaman 56-64
Koleksi Online
Salah satu perubahan penting pertama dalam kegiatan yang selama ini dikenal dengan istilah “pengembangan koleksi” adalah ketika komputer dan alat telekomunikasi digabungkan menjadi sebuah sarana elektronik bagi perpustakaan untuk mengakses sebuah himpunan data yang berada pada jauh dari perpustakaan tersebut.
Kata “asset” menjadi lebih tepat dihunakan dari pada kata koleksi sebab keleluasaan yang ditawarkan oleh teknologi informasi menimbulkan kesan bahwa objek-objek digital punya potensi yang lebih besar dan lebih segera untuk menjadi modal pengetahuan. Keluasan dan kemudahan yang terkandung di dalam kemajuan teknologi ini melahirkan dinamika yang lebih tepat digambarakan  dalam bentuk perubahan dari objek, menjadi asset lalu menjadi pengetahuan.

Memiliki atau Menyediakan
Perubahan dan perkembangan teknologi sesungguhnya sempat menimbulkan situasi yang hiruk-pikuk di jagat informasi di seluurh dunia. Diigitalisasi menyebabkan pertumbuhan data dan informasi yang amat cepat dan dalam jumlah yang amat besar, namun prasarana dan tatacara, maupun norma yang berkaitan dengan penggunaan informasi belum terlihat siap.
Dalam pandangan Dowlin, yang kemudain menjadi semacam acuan bagi para pustakawan, sebuah perpustakaan tradisiobnal berubah menjadi e-library ketika perpustakaan ini menggunakan sarana elektronik dan sumber daya informasi elektronik. Setelah itu munculah persepsi-persepsi baru mengenai perpustakaan digital sebagai perpustakaan tanpa dinding. Beberapa persoalan yang muncul dari penyediaan akses ke sumber daya elektronik secara jarak jauh di perpustakaan adalah:
1.      Sifat isi atau kandungan informasi yang semakin sementara sebab nyaris tak ada sarana untuk memastikan bahwa data yang kita akses setahun lalu masih dapat diakses lagi saat ini, baik karena pangkalan data sudah berubah atau karena tidak punya lagi akses kesitu.
2.      Tak semua jenis informasi tersedia dalam bentuk online, dan ada beberapa informasi yang menimbulkan ketidaknyamanan kalau diakses atau digunakan secara online. Buku teks misalnya kurang begitu dinikmati kalau tersedia dalam bentuk online atau e-book. Demikian juga buku petunjuk untuk pekerjaan teknis dan prosedur, lebih sering dipegang hari pada dilihat dilayar.
3.      Mengambil dan menyimpan data yang kita ambil dari pangkalan data juga tak semudah diucapkanya, sebab ada perangkat hokum tentang hak intelektual.
4.      Perubahan pola hubungan bisnis, dari hubungan antara pembeli dan penjual menjadi hubungan antara pelanggann dan penyedia lisensi seringkali ditandai dengan hilangnya kendali pembeli.
Memang ada banyak perubahan terjadi ketika komputer dimanfaatkan oleh perpustakaan dan institusi informasi lainya. Sebagian perubahan itu merupakan penambahan fasilitas, sebagian lagi merupakan yang benar-benar baru.



Ragam Akses, Aneka Aset
Bentuk komputerisasi pertama yang dialami perpustakaan adalah komputerisasi catalog; mengubah bentuk dan fungsi catalog kartu yang terbuat dari kertas menjadi layar kaca menu yang penuh tampilan informasi. Karakteristik awal tampilan komputerisasi perpustakaan:
1.      Kata online menandakan bahwa diantara manusia dan sumber informasi ada jarak yang diperantarai oleh serangkain kabel atau serangkaian perangkat lain yang nirkabel alias wireless. Jarak ini tak selalu berarti “jarak jauh”.
2.      Kata public menandakan bahwa fasilitas ini dapat digunakan beramai-ramai secara bersamaan. Dalam hal ini perubahan yang ditimbulkan komputerisasi memang amat khas.. sewaktu catalog masih berbentuk kartu, hanya satu orang yang dapat menggunakan catalog tersebut untuk kegiatan penelusuran.
3.      Kata akses merujuk kepada situasi tanpa antrian di atas, sebab sebuah server dapat dijangkau oleh ribuan (atau bahkan juataan) orang secar bersamaan dari tempat yang berbeda-beda. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa akses tidak selalu berarti jarak jauh, dan fasilitas akses tidak selalu menyebabkan OPAC berada di luar gedung perpustakaan.
4.      Kata catalog menandakan bahwa fasilitas ini adalah seperti namanya, yaitu sebuah catalog. Sebuah OPAC merupakan fasilitas untuk membantu orang menemukan apa yang dibutuhkan dengan merujuk orang itu pada suatu yang dicarinya.

Pengaruh komputerisasi yang lebih langsung terhadap himpunan informasi adalah ketika keseluruhan sumber daya tersebut berbentuk digital dan tersedia lewat internet. pada umumnya koleksi digital tersedia di berbagai situs web yang bebas terbuka, dalam arti tak mengenal pembatasan akses dan isinya boleh langsung dibaca, diunduh atau dipake oleh siapa saja.
Dari sisi pandang pengembangan koleksi, pengembangan sumber-sumber informasi yang bersifat gratis ini menimbulkan beberapa persoalan. Sebagai beberapa sumber yang bebas terbuka, maka tak ada jaminan yang diberikan kepada pihak perpustakaan atau institusi informasi yang akan menyediakan akses ke sumber tersebut kepada anggotanya. Bisa saja, sebuah situs gratis yang mengandung informasi yang dibuthkan pengguna tiba-tiba menghilang dari internet setelah beberapa saat hadir.
Kemudian sikap yang lebih tepat adalah tetap menyediakan akses ke situs-situs penting dan menjadikan kegiatan penyediaan kegiatan pemeriksaan link ke situs-situs tersebut sebagai kegiatan rutin.
Cara lain adalah dengan mengajak masyarakat pengguna ikut serta dalam melaporkan dead link yang mereka temui. Bahkan jika sebuah perpustakaan punya cukup sarana dan sumber daya manusia, dapat dilakukan kegiatan pelestarian situs-situs web dengan jalan memunguti semua situs tersebut dan disimpan di dalam server perpustakaan tersebut. Dengan cara ini, walaupun situs orisinilnya sudah padam, perpustakaan tetap punya salinan dan tetap bisa menyajikan situs tersebut dari asset digital. Secara teknis hal ini memungkinkan.
Dari segi pengembangan koleksi dan asset digital, kembali menegaskan bahwa peran perpustakaan sebagai pemilik koleksi kini harus diimbangi dengan peran penyedia akses yang sekaligus bertindak sebagai semacam mediator, baik ditingkat kebijakan maupun di tingkat praktik ataupun operasional. Ditingkat kebijakan, pengelola perpustakaan digital ikut berperan dalam merumuskan langkah-langkah pengelolaan akses dan penyediaan sumberdaya informasi digital. Di tingkat operasional, mereka menjadi mitra pengguna dalam mencari dan menemukan artikel-artikel yang semakin lama semakin banyak dalam jumlah maupun ragamnya itu.
Kemampuan sebuah perpustakaan digital untuk menyediakan koleksi ataupun akses permanen yang dinamis ke berbagai koleksi digital, misalnya dalam bentuk portal akan menjadi penentu kualitas perpustakaan digital baik sebagai institusi yang memiliki bangunan dan dinding, maupun sebagai perpustakaan tanpa dinding atau perpustakaan maya atau virtual. Istilah-istilah yang memang menarik perhatian itu, akhirnya tak perlu dipersoalkan apalagi dipertentangkan karena pada dasarnya perpustakaan digital merupakan institusi yang menjamin koleksi non digital maupun asset digital dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh masyarakat pengguna.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo dikasih masukan ya...