Buku:
Perpustakaan Digital kesinambungan dan dinamika
Pengarang:
Putu Laxman Pendit
Halaman
: 40-50
Sebelum fenomena dan konsep perpustakaan digital ramai dibicarakan di
kalangan pengelola lembaga informasi, ada sebuah perkembangan di bidang
industry dan bisnis yang juga bereaksi terhadap kemajuan amat pesat dalam
digitalisasi dan teknologi informasi. Perkembangan ini kemudian melahirkan
fenomena dan konsep yang kita kenal dengan istilah manajemen pengetahuan.
Menurut Beckman 1999, peristiwa penting yang menandai tonggak perkembangan
manajemen pengetahuan adalah etika di tahun 1980 perusahaan DEC (Digital
Equipment Corporation) dan
Universitas Carnagie Mellon mengembangkan sistem
pakar (expert system) bernama XCON.
Sejak itu banyak peneliti yang menuju pada pemanfaatan teknologi untuk
mengambil, menghimpun dan memanfaatkan pengetahuan yang tersimpan di kepala
manusia. Namun baru enam tahun kemudian istilah “manajemen pengetahuan”
diperkenalkan secara formal oleh Dr.
Karl Wiing dalam sebuah pidatonya di konferensi International Labor
Organization (Badan Buruh Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Perkembangan dunia internet menyebabkan para teknolog menyadari bahwa
sistem komputer harus dapat melayani populasi dengan berbagai kepentingan.
Selain itu juga, pengetahuan tidak harus berbentuk satu paket yang rapi dan
jelas batas-batasanya. Salah satu isyu terpenting di masa awal fenomena
Knowledge Managemen adalah kesulitan mengakuisisi dan menyimpan pengetahuan di
dalam organisasi. Isyu ini antara lain juga menyebabkan ketertarikan baru pada
diskusi tentang apa yang sebenarnya dimaksud pengetahuan. Definisi-definisi
tersebut justru semakin memperlihatkan problematika penyimpanan dan mengelola
pengatahuan, sebab pengetahuan bukanlah entitas yang mudah direkam.
Perkembangan pemikiran tentang pengetahuan akhirnya mengarahkan teknologi
komputer dan sistem pakar ke tujuan yang berbeda: bukan untuk membuat sistem
yang dapat menyimpan sepenuhnya pengetahuan, melainkan sistem yang dapat
mendukung manusia menciptakan dan menggunakan pengetahuan untuk kegiatan
mereka. Terlebih lagi, pemikiran tentang manajemen penegetahuan berbantuan
teknologi komputer juga semakin menyadarkan semua orang bahwa pengetahuan
tersebut digunakan bersama-sama di dalam sebuah komunitas, baik berbentuk
organisasi yang tertata rapi, maupun dalam bentuk masyarakat yang lebih
terbuka. Komunitas ini semakin lama semakin banyak berbentuk komunitas online,
mengadalkan jaringan telekomunikasi dan internet untuk saling berhubungan. Di
dalam situasi seperti itulah, pada era 1990 an, orang mulai bicara perpustakaan
digital.
Komunitas
Online dan Pengetahuan Bersama
Secara umum kita menggunakan komunitas online untuk himpunan manusia di
internet. ada juga yang menggunkan virtual communities yang didefinisikan
sebagai “ frontierless, geographically dispersed community of people and
organizations connected via internet or other networks”.
Di definisi tersebut, penekannanya adalah pada ketersebaran geografis
yang nyaris tak terbatas. Para anggotanya satu sama lain mungkin tak pernah
bertemu muka.
Dalam pengertian
yang lebih sempit komunitas online diartikan “ a specific reference to web
sites where people congregate online to discuss a subject or to introduce
themselves for possible meeting in person”.
Sebuah komunitas selalu punya potensi bertemu in person alias kopi darat
selain berhimun di sebuah situs yang mereka kunjungi secara jarak jauh. Dalam
komunitas online para anggota saling bertukar data dan informasi. Dari
pertukaran ini seringkali muncul informasi baru yang nampaknya semakin kaya.
Kemudian berkaitan tentang simpan menyimpan informasi tersebut, menarik pula
untuk diperhatikan bagaimana harusnya komunitas online harus menentukan nilai
informasi: mana informasi yang baik, dan mana informasi yang buruk, mana
informasi yang perlu disimpan karena bernilai informasi tinggi, dan mana
informasi yang bersifat sambil lulu saja, sehingga tak perlu disimpan.
Penentuan tentang hal-hal ini ditentukan dalam situasi dan kondisi yang khas.
Misalhnya, sebuah komunitas memanfaatkan teknologi dan digitalisasi internet
untuk melakukan komunikasi tanpa batas. Itu artinya kesepakatan-kesepakatan
dapat dibuat tanpa kehadiran pihak-pihak yang terlibat.
Prinsip-prinsip
Trusted Repository
Pada tahun 2002, Reseacrh Libraries Group, sebuah asosiasi penyelenggara
perpustakaan penelitian di Amerika Serikat secara formal didefinisikan trusted
digital repository (sarana penyimpan yang dapat dipercaya) sebagai sebuah
sarana penyimoan dengan fasilitas akses jangka panjang yang dapat diandalkan
bagi pemanfaatan sumber digital untuk keperluan komunitas tertentu. Sarana
penyimpan ini dapat dilihat sebagai salah satu perpustakaan digital yang
berkaitan dengan prinsip penggunaan pengetahuan oleh komunitas di dalam sebuah
lingkungan digital. Sebagai sebuah sarana, beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi adalah:
1.
Bertanggung jawab merawat
dalam jangka oangjang semua sumber daya digital yang diserahkan kepadanya untuk
kepentingan pengguna di masa kini meupun masa mendatang.
2.
Memiliki sistem organisasi
yang tidak hanya mampu mendukung keberlangsungan fungsi penyimpangan digital
tersebut, tetapi juga keutuhan informasi digital yang terkandung di dalamnya.
3.
Mampu bertanggung jawab
secara financial terhadap keberlangsungan kerja sistem penyimpanan ini.
4.
Memastikan bahwa desain
sistem penyimpanan ini memenuhi konvensi dan standar yang sudah disepakati
bersama, sehingga ada jaminan terhadap akses dan keamanan informasi digital
yang tersimpan di dalamnya.
5.
Memiliki sarana evaluasi
yang dapat digunakan untuk selalu memenuhi harapan komunitas, khususnya dalam
trustworthiness (dapat dipercaya).
6.
Secara jangka panjang,
terbuka dan dapat eksplesit bertnaggung jawab kepada pihak yang menyimpan (depositors)
maupun yang menggunakan simpanan tersebut.
7.
Memiliki kebijakan
tertulis, catatan kegiatan dan kinerja, yang dapat diperiksa dan diukur untuk
membuktikan tanggung jawab tersebut.
Kosep-konsep
trusted repository dengan beberapa scenario yang ada di laporan RLG-OCLC.
Sekenario pertama diberlakukan di tingkat nasional, yaitu ketika sebuah
perpustakaan nasional di suatu Negara bertanggung jawab terhadap koleksi sumber
daya digital termasuk yang berbentuk publikasi online, produk-produk multimedia
yang mengandung berbagai objek digital, dan berbagai pangkalan data digital.
Skenario kedua diberlakukan di lingkungan perguruan tinggi yang memiliki
sebuah perpustakaan dengan sebuah koleksi besar penting bagi perkembangan ilmu.
Koleksi perpustakaan digital di sini tentunya dikembangkan untuk mendukung
kegiatan belajar mengajar dan penelitian, berbentuk pangalan data online,
jurnal elektronik, karya sivitas akademika, dan materi kuliah serta
rekaman-rekaman berkaitan dengan institusi pendidikan itu.
Skenario ketiga diberlakukan di setting sebuah museum yang kini mulai
menghimpun objek digital, baik dalam bentuk salinan atau wakil dari koleksi non
digital yang disengaja dibuat untuk keperluan pelestarian, salinan yang dibuat
untuk keperluan pameran secara online, maupun objek digital asli berupa karya-karya
seni budaya digital. Komunitas yang dilayani museum juga amat beragam, namun
dapat dilihat sebagai kumpulan dari kelompok-kelompok spesifik, misalnya para
peneliti, para seniman, organisasi lain yang menggunakan koleksi digital untuk
keperluan komersial, anak-anak sekolah dan masyarakat umum.
Skenario keempat, diterapkan di himpunan e-journals ang dipublikasikan
melalui sebuah jaringan komputer. Setiap judul e-journal disimpan setidaknya
empat lokasi geografis untuk mengurangi resiko kehilangan data yang disebabkan
oleh induk komputer. Akses koleksi bersama ini dikendalikan melalui sistem
lisensi perijinan dan dilaksanakan dalam bentuk penggunaan kata sandi untuk
setiap pengguna.
Skenario kelima, diterapkan disebuah institusi kecil yang memiliki koleksi
digital dalam jumlah cukup besar, misalnya dalam bentuk foto digital, dan
secara legal punya kewajiban melestarikan koleksi tersebut walaupun belum tentu
punya infrastruktur, dana dan sumber daya manusia yang memadai untuk membangun
sistem menyimpan yang local dan mereka kelola sendiri.
Fenomena
Instutional Repository
Istilah institusional repository atau “simpanan kelembagaan” merujuk ke
sebuah kegiatan menghimpun dan melestarikan koleksi digital yang merupakan
hasil karya intelektual dari sebuah komunitas tertentu. Perkembangan pemikiran
tentang simpanan kelembagaan juga dikaitkan dengan fenomena open archieve
initative yang merebak di penghujung era 1990 an.
Peran perpustakaan digital dalam konteks simpanan kelembagaan pada
awalnya juga menjadi bahan diskusi dan perdebatan. Inti dari simpanan
kelembagaan ini adalah inisiatif ilmuan atau dosen untuk mengiirim karya mereka
dan kesadaran untuk menyimpan karya mereka secara pribadi.
Dari segi kepustakawanan, tantangan yang ditimbulkan oleh masalah penyimpanan
dan penemuan kembali dijawab dalam bentuk pengorganisasian kegiatan simpanan
kelembagaan dengan mengikuti prinsip-prinsip trusted repository sebagaimana
diulas dibagian sebelumnya. Pelembagaan atau formalisasi simpanan kelembagaan
menjadi bagian dari kendali institusi perpustakaan digital ini pun tak
menghilangkan dinamika selanjutnya yang terjadi di dunia internet, khususnya
yang berkaitan dengan produksi dan konsumsi pengetahuan, dan khususnya yang
berkaitan dengan semakin luasnya orang memproduksi dan mengkonsumsi informasi
sebagai bagian ari upaya mereka mengembangkan pengetahuan.
KOLEKSI DAN ASET DIGITAL
Buku: Perpustakaan Digital : Dinamika dan Kesinambungan
Pengarang: Putu Laxman Pendit
Halaman 56-64
Koleksi
Online
Salah satu perubahan penting pertama dalam kegiatan yang selama ini
dikenal dengan istilah “pengembangan koleksi” adalah ketika komputer dan alat
telekomunikasi digabungkan menjadi sebuah sarana elektronik bagi perpustakaan
untuk mengakses sebuah himpunan data yang berada pada jauh dari perpustakaan
tersebut.
Kata “asset” menjadi lebih tepat dihunakan dari pada kata koleksi sebab
keleluasaan yang ditawarkan oleh teknologi informasi menimbulkan kesan bahwa
objek-objek digital punya potensi yang lebih besar dan lebih segera untuk
menjadi modal pengetahuan. Keluasan dan kemudahan yang terkandung di dalam
kemajuan teknologi ini melahirkan dinamika yang lebih tepat digambarakan dalam bentuk perubahan dari objek, menjadi asset
lalu menjadi pengetahuan.
Memiliki atau
Menyediakan
Perubahan dan perkembangan teknologi sesungguhnya sempat menimbulkan
situasi yang hiruk-pikuk di jagat informasi di seluurh dunia. Diigitalisasi
menyebabkan pertumbuhan data dan informasi yang amat cepat dan dalam jumlah
yang amat besar, namun prasarana dan tatacara, maupun norma yang berkaitan
dengan penggunaan informasi belum terlihat siap.
Dalam pandangan Dowlin, yang kemudain menjadi semacam acuan bagi para
pustakawan, sebuah perpustakaan tradisiobnal berubah menjadi e-library ketika perpustakaan
ini menggunakan sarana elektronik dan sumber daya informasi elektronik. Setelah
itu munculah persepsi-persepsi baru mengenai perpustakaan digital sebagai
perpustakaan tanpa dinding. Beberapa persoalan yang muncul dari penyediaan
akses ke sumber daya elektronik secara jarak jauh di perpustakaan adalah:
1.
Sifat isi atau kandungan
informasi yang semakin sementara sebab nyaris tak ada sarana untuk memastikan
bahwa data yang kita akses setahun lalu masih dapat diakses lagi saat ini, baik
karena pangkalan data sudah berubah atau karena tidak punya lagi akses kesitu.
2.
Tak semua jenis informasi
tersedia dalam bentuk online, dan ada beberapa informasi yang menimbulkan
ketidaknyamanan kalau diakses atau digunakan secara online. Buku teks misalnya
kurang begitu dinikmati kalau tersedia dalam bentuk online atau e-book.
Demikian juga buku petunjuk untuk pekerjaan teknis dan prosedur, lebih sering
dipegang hari pada dilihat dilayar.
3.
Mengambil dan menyimpan
data yang kita ambil dari pangkalan data juga tak semudah diucapkanya, sebab
ada perangkat hokum tentang hak intelektual.
4.
Perubahan pola hubungan
bisnis, dari hubungan antara pembeli dan penjual menjadi hubungan antara
pelanggann dan penyedia lisensi seringkali ditandai dengan hilangnya kendali
pembeli.
Memang ada banyak perubahan terjadi
ketika komputer dimanfaatkan oleh perpustakaan dan institusi informasi lainya.
Sebagian perubahan itu merupakan penambahan fasilitas, sebagian lagi merupakan
yang benar-benar baru.
Ragam Akses,
Aneka Aset
Bentuk komputerisasi pertama yang dialami perpustakaan adalah
komputerisasi catalog; mengubah bentuk dan fungsi catalog kartu yang terbuat
dari kertas menjadi layar kaca menu yang penuh tampilan informasi.
Karakteristik awal tampilan komputerisasi perpustakaan:
1.
Kata online menandakan
bahwa diantara manusia dan sumber informasi ada jarak yang diperantarai oleh
serangkain kabel atau serangkaian perangkat lain yang nirkabel alias wireless.
Jarak ini tak selalu berarti “jarak jauh”.
2.
Kata public menandakan
bahwa fasilitas ini dapat digunakan beramai-ramai secara bersamaan. Dalam hal
ini perubahan yang ditimbulkan komputerisasi memang amat khas.. sewaktu catalog
masih berbentuk kartu, hanya satu orang yang dapat menggunakan catalog tersebut
untuk kegiatan penelusuran.
3.
Kata akses merujuk kepada
situasi tanpa antrian di atas, sebab sebuah server dapat dijangkau oleh ribuan
(atau bahkan juataan) orang secar bersamaan dari tempat yang berbeda-beda.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa akses tidak selalu berarti jarak jauh, dan
fasilitas akses tidak selalu menyebabkan OPAC berada di luar gedung
perpustakaan.
4.
Kata catalog menandakan
bahwa fasilitas ini adalah seperti namanya, yaitu sebuah catalog. Sebuah OPAC
merupakan fasilitas untuk membantu orang menemukan apa yang dibutuhkan dengan
merujuk orang itu pada suatu yang dicarinya.
Pengaruh komputerisasi yang lebih langsung terhadap
himpunan informasi adalah ketika keseluruhan sumber daya tersebut berbentuk
digital dan tersedia lewat internet. pada umumnya koleksi digital tersedia di
berbagai situs web yang bebas terbuka, dalam arti tak mengenal pembatasan akses
dan isinya boleh langsung dibaca, diunduh atau dipake oleh siapa saja.
Dari sisi pandang pengembangan koleksi, pengembangan
sumber-sumber informasi yang bersifat gratis ini menimbulkan beberapa
persoalan. Sebagai beberapa sumber yang bebas terbuka, maka tak ada jaminan
yang diberikan kepada pihak perpustakaan atau institusi informasi yang akan
menyediakan akses ke sumber tersebut kepada anggotanya. Bisa saja, sebuah situs
gratis yang mengandung informasi yang dibuthkan pengguna tiba-tiba menghilang
dari internet setelah beberapa saat hadir.
Kemudian sikap yang lebih tepat adalah tetap
menyediakan akses ke situs-situs penting dan menjadikan kegiatan penyediaan
kegiatan pemeriksaan link ke situs-situs tersebut sebagai kegiatan rutin.
Cara lain adalah dengan mengajak masyarakat pengguna
ikut serta dalam melaporkan dead link yang mereka temui. Bahkan jika sebuah
perpustakaan punya cukup sarana dan sumber daya manusia, dapat dilakukan
kegiatan pelestarian situs-situs web dengan jalan memunguti semua situs
tersebut dan disimpan di dalam server perpustakaan tersebut. Dengan cara ini,
walaupun situs orisinilnya sudah padam, perpustakaan tetap punya salinan dan
tetap bisa menyajikan situs tersebut dari asset digital. Secara teknis hal ini
memungkinkan.
Dari segi pengembangan koleksi dan asset digital,
kembali menegaskan bahwa peran perpustakaan sebagai pemilik koleksi kini harus
diimbangi dengan peran penyedia akses yang sekaligus bertindak sebagai semacam
mediator, baik ditingkat kebijakan maupun di tingkat praktik ataupun
operasional. Ditingkat kebijakan, pengelola perpustakaan digital ikut berperan
dalam merumuskan langkah-langkah pengelolaan akses dan penyediaan sumberdaya
informasi digital. Di tingkat operasional, mereka menjadi mitra pengguna dalam
mencari dan menemukan artikel-artikel yang semakin lama semakin banyak dalam
jumlah maupun ragamnya itu.
Kemampuan sebuah perpustakaan digital untuk
menyediakan koleksi ataupun akses permanen yang dinamis ke berbagai koleksi
digital, misalnya dalam bentuk portal akan menjadi penentu kualitas
perpustakaan digital baik sebagai institusi yang memiliki bangunan dan dinding,
maupun sebagai perpustakaan tanpa dinding atau perpustakaan maya atau virtual.
Istilah-istilah yang memang menarik perhatian itu, akhirnya tak perlu
dipersoalkan apalagi dipertentangkan karena pada dasarnya perpustakaan digital
merupakan institusi yang menjamin koleksi non digital maupun asset digital
dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh masyarakat pengguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo dikasih masukan ya...