Minggu, 04 Mei 2014

Senyuman dari Kedamaianmu ^_^"

Mikir keras!
Sudah 23 tahun saya nangkring di bedengnya Allah. Bumi yang senantisa menyediakan tubuhnya untuk berpijak kaki ini. Langit yang senantiasa menghiasi siang dan malamku. Kekayaan Allah yang telah kunikmati kurang lebih 23 tahun.
Menghela nafas !

Kutatap wajah ini, tak seperti dulu. Wibawa dewasa sudah nampak. Namun sifatku masih kekanak-kanakan. Kembali flash back. Dulu waktu lulus SMA, Saya punya planning lho. Cerita dikit deh.
Saya dulu tinggal sama Embah. Sejak kelas 1SD saya sudah dititipkan sama wanita janda yang super cerewet ini. Beliau adalah Embah, beliau adalah orang pertama yang menjadi tujuan cita-citaku. Ketika rasa malasku mendera, wajah beliaulah yang selalu aku ingat untuk mengusir malas.
Saya tumbuh menjadi gadis desa yang manja. Entahlah. Harusnya saya mandiri karena tinggal dengan mbah. Namun, kasih sayang dan perhatian Embah membuat diri ini merasa manja dan nyaman. Minta apa, tinggal bilang sama Embah. Meskipun saya tahu, terkadang Embah dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Tapi entahlah. Seakan waktu itu jiwa ini tak memiliki belas kasih dan pengertian. Saya gadis yang egois. Mau ini,ya harus ada saat ini juga.
Setelah lulus SMA, seakan diri ini disadarkan. Begitu besar pengorbanan Embah. Tidak hanya materi, namun juga fisik. Entah berapa puluh kilo keringat yang beliau keluarkan tiap harinya demi memberikan permintaanku.
Di saat itulah aku mulai sadar. Seiring dengan lipatan-lipatan keriput diwajahnya, saya harus bisa membalas budi wanita yang bagiku adalah malaikat. Aku ingin membuktikan, aku bisa menjadi orang sukses seperti orang-orang. Aku ingin membuat Embah bisa senyum mapan menikmati hari tuanya. Disitulah niat untuk bekerja setelah lulus sekolah bermula.
Mungkin, kalau ditanya. Kenapa waktu itu ndak langsung kuliah saja ?. dan inilah jawabanya. Jawaban yang paling utama mengapa saya dulu ndak langsung kuliah, tapi mampir kerja dulu.
Ya… rasa ingin balas budiku ke Embah.
Membayangkan setiap bulanya saya bisa menyisihkan beberapa uang ratusan untuk dikirim ke Embah. Mungkin Embah bisa senang. Embah bisa beli gula dan kopi. Minuman yang menjadi cemilan rutin setiap paginya.
Namun, belum sempat gaji diterima. Belum sempat gula dan kopi terbeli dari gaji sendiri. Beliau di bulan Februari 2008, sangat tega meninggalkanku. Mengahadapi dunia sendiri. Sendiri. Beliau dipanggil kerahmatullah tepat pukul 11:00 WIB. Tetesan air mata yang saat itu mengiringi hembusan nafas terakhirnya. Tetesan yang rasanya sama seperti tetesan sekarang saat saya menulis ini.
Rasa kehilangan yang mendalam. Kecewa. Penyesalan yang kurasa. Belum sempat aku membuatnya bangga. Belum sempat saya membalas keringat-keringatnya yang dulu telah tercucur untukku.
Ingatan 2007 yang tidak terlupakan. Ketika beliau bertanya kapan saya nikah. Waktu itu umur saya 17 tahun. Untuk ukuran gadis desa, seumuran itu adalah pantas sudah untuk menikah. Namun, mulut ini berjanji. “tenang saja Mbah, di umur 20 saya akan nikah, dan Mbah akan menyaksikannya”.
Kalimat itu saat ini masih menggelitik. Ternyata dulu saya punya cita-cita nikah di umur 20. Eitz…. Ndak taunya sekarang sudah lewat 3 tahun dari target.
Sekarang!
Ya sekarang, adalah sekarang. Saya tetep punya cita-cita. Karir dan jodoh. Semoga Allah SWT, senantiasa membimbing kaki ini untuk selalu melangkah menuju sukses. Membuktikan dan memberikan bangga kepada Ma’e dan Pa’e. dan saya juga yakin, Embah melihatku. Mungkin kini senyumnya ndak bisa kunikmati melalui mata ini, namun saya percaya, dan saya percaya embah masih melihatku.
E-M-B-A-H ! lima rangkaian huruf kecil yang menjadi jiwa penyemangat. Namamu adalah nafasku. Senantiasa aku berdo’a agar beliau diberikan tempat indah di sisi Allah. Tempat dimana saya akan bertemu kembali bersamamu, Embah.

Tersenyumlah di kedamaianmu… senyumanmu adalah bekalku menjalani hari-hariku mengejar sukses. Semuanya untuk Embah. ^_^”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo dikasih masukan ya...