Mikir keras!
Sudah
23 tahun saya nangkring di bedengnya Allah. Bumi yang senantisa menyediakan
tubuhnya untuk berpijak kaki ini. Langit yang senantiasa menghiasi siang dan
malamku. Kekayaan Allah yang telah kunikmati kurang lebih 23 tahun.
Menghela
nafas !
Kutatap
wajah ini, tak seperti dulu. Wibawa dewasa sudah nampak. Namun sifatku masih
kekanak-kanakan. Kembali flash back. Dulu waktu lulus SMA, Saya punya planning lho.
Cerita dikit deh.
Saya
dulu tinggal sama Embah. Sejak kelas 1SD saya sudah dititipkan sama wanita
janda yang super cerewet ini. Beliau adalah Embah, beliau adalah orang pertama
yang menjadi tujuan cita-citaku. Ketika rasa malasku mendera, wajah beliaulah
yang selalu aku ingat untuk mengusir malas.
Saya
tumbuh menjadi gadis desa yang manja. Entahlah. Harusnya saya mandiri karena
tinggal dengan mbah. Namun, kasih sayang dan perhatian Embah membuat diri ini
merasa manja dan nyaman. Minta apa, tinggal bilang sama Embah. Meskipun saya
tahu, terkadang Embah dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Tapi entahlah. Seakan
waktu itu jiwa ini tak memiliki belas kasih dan pengertian. Saya gadis yang
egois. Mau ini,ya harus ada saat ini juga.
Setelah
lulus SMA, seakan diri ini disadarkan. Begitu besar pengorbanan Embah. Tidak hanya
materi, namun juga fisik. Entah berapa puluh kilo keringat yang beliau
keluarkan tiap harinya demi memberikan permintaanku.
Di
saat itulah aku mulai sadar. Seiring dengan lipatan-lipatan keriput diwajahnya,
saya harus bisa membalas budi wanita yang bagiku adalah malaikat. Aku ingin
membuktikan, aku bisa menjadi orang sukses seperti orang-orang. Aku ingin
membuat Embah bisa senyum mapan menikmati hari tuanya. Disitulah niat untuk
bekerja setelah lulus sekolah bermula.
Mungkin,
kalau ditanya. Kenapa waktu itu ndak langsung kuliah saja ?. dan inilah
jawabanya. Jawaban yang paling utama mengapa saya dulu ndak langsung kuliah,
tapi mampir kerja dulu.
Ya…
rasa ingin balas budiku ke Embah.
Membayangkan
setiap bulanya saya bisa menyisihkan beberapa uang ratusan untuk dikirim ke
Embah. Mungkin Embah bisa senang. Embah bisa beli gula dan kopi. Minuman yang
menjadi cemilan rutin setiap paginya.
Namun,
belum sempat gaji diterima. Belum sempat gula dan kopi terbeli dari gaji
sendiri. Beliau di bulan Februari 2008, sangat tega meninggalkanku. Mengahadapi
dunia sendiri. Sendiri. Beliau dipanggil kerahmatullah tepat pukul 11:00 WIB. Tetesan
air mata yang saat itu mengiringi hembusan nafas terakhirnya. Tetesan yang
rasanya sama seperti tetesan sekarang saat saya menulis ini.
Rasa
kehilangan yang mendalam. Kecewa. Penyesalan yang kurasa. Belum sempat aku
membuatnya bangga. Belum sempat saya membalas keringat-keringatnya yang dulu
telah tercucur untukku.
Ingatan
2007 yang tidak terlupakan. Ketika beliau bertanya kapan saya nikah. Waktu itu
umur saya 17 tahun. Untuk ukuran gadis desa, seumuran itu adalah pantas sudah
untuk menikah. Namun, mulut ini berjanji. “tenang saja Mbah, di umur 20 saya
akan nikah, dan Mbah akan menyaksikannya”.
Kalimat
itu saat ini masih menggelitik. Ternyata dulu saya punya cita-cita nikah di
umur 20. Eitz…. Ndak taunya sekarang sudah lewat 3 tahun dari target.
Sekarang!
Ya
sekarang, adalah sekarang. Saya tetep punya cita-cita. Karir dan jodoh. Semoga Allah
SWT, senantiasa membimbing kaki ini untuk selalu melangkah menuju sukses. Membuktikan
dan memberikan bangga kepada Ma’e dan Pa’e. dan saya juga yakin, Embah
melihatku. Mungkin kini senyumnya ndak bisa kunikmati melalui mata ini, namun
saya percaya, dan saya percaya embah masih melihatku.
E-M-B-A-H
! lima rangkaian huruf kecil yang menjadi jiwa penyemangat. Namamu adalah
nafasku. Senantiasa aku berdo’a agar beliau diberikan tempat indah di sisi
Allah. Tempat dimana saya akan bertemu kembali bersamamu, Embah.
Tersenyumlah
di kedamaianmu… senyumanmu adalah bekalku menjalani hari-hariku mengejar sukses.
Semuanya untuk Embah. ^_^”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo dikasih masukan ya...