Created by : Rusmiatiningsih
Email : rusmiatiningsih37@yahoo.com
Jurusan : Ilmu Perpustakaan
Fakultas : Adab dan Humaniora IAIN Raden Fatah
“INI
AYAHKU, INI HUTANKU, DAN INI CINTAKU…!!!!”
Sentuhan sinar pagi menyisir alam
bumi.
Memberikan kehangatan bagi penghuninya. Kokok ayam sebagai musik alami pedesaan terasa merdu mengiringi kesibukan esok itu di sebuah desa terpencil di Kabupaten Pati Jawa Tengah. “Pucak Wangi” ya inilah nama sebuah desa asri dimana pak Jarwo dan keluarganya tinggal.
Duduk-duduk di pekarangan rumah dengan pemandangan sawah dan pohon-pohon berbaris rapi berkawan dengan alaminya warna hijau semak belukar dan pepohonan yang tersirat setiap pagi, ini adalah kebiasaan pak jarwo. “pak…!!! Ayo masuk dulu, kita sarapan dulu, sebentar lagi kan bapak mau berangkat ngajar….!!!”. seru Ngadiem yang merupakan istri dari pak Jarwo. Sambil menghabiskan sebatang rokok sukun yang sedari tadi ia hisap pak Jarwo segera melangkahkan kaki masuk menuju rumah. “buk…!!! Mana si Candra..? sudah bangun? Suruh ia cepat-cepat mandi dan sarapan, katanya Candra mau berangkat sama bapak ke sekolahnya?”. Kata pak jarwo sebari duduk di kursi meja makan sebari membenahi dasi yang dari tadi nyangkut dilehernya. Ngadiem segera masuk dan memanggil si Candra agar segera bergabung sarapan.
Memberikan kehangatan bagi penghuninya. Kokok ayam sebagai musik alami pedesaan terasa merdu mengiringi kesibukan esok itu di sebuah desa terpencil di Kabupaten Pati Jawa Tengah. “Pucak Wangi” ya inilah nama sebuah desa asri dimana pak Jarwo dan keluarganya tinggal.
Duduk-duduk di pekarangan rumah dengan pemandangan sawah dan pohon-pohon berbaris rapi berkawan dengan alaminya warna hijau semak belukar dan pepohonan yang tersirat setiap pagi, ini adalah kebiasaan pak jarwo. “pak…!!! Ayo masuk dulu, kita sarapan dulu, sebentar lagi kan bapak mau berangkat ngajar….!!!”. seru Ngadiem yang merupakan istri dari pak Jarwo. Sambil menghabiskan sebatang rokok sukun yang sedari tadi ia hisap pak Jarwo segera melangkahkan kaki masuk menuju rumah. “buk…!!! Mana si Candra..? sudah bangun? Suruh ia cepat-cepat mandi dan sarapan, katanya Candra mau berangkat sama bapak ke sekolahnya?”. Kata pak jarwo sebari duduk di kursi meja makan sebari membenahi dasi yang dari tadi nyangkut dilehernya. Ngadiem segera masuk dan memanggil si Candra agar segera bergabung sarapan.
“uhuk…uhuk….uhuk…” terdengar suara
batuk pak Jarwo dari meja makan. “tuh kan wes dibilangin, ndak usah
banyak-banyak rokok, kalo bapak sakit sopo seng susah”?. Dan seperti biasanya
pak Jarwo tak menggubris keresahan sang instri. Ngadiem mendekati suaminya
sembari menyisir rambut si Candra. Maklum si Candra adalah putra satu-satunya
dari sepasang suami istri pak Jarwo dan ibu Ngadiem. Candra adalah tumpuan
kasih sayang mereka, segala kebutuhan dan keinginan Candra selalu dikabulkan.
Tapi, hal ini tak menjadikan Candra menjadi anak yang manja. Justru Candra
tumbuh menjadi anak yang patuh kepada orang tua. Seakan Candra tau akan
kelelahan ayahnya mencari nafkah, tak jarang Candra memijit-mijit pundak
bapaknya itu ketika pulang ngajar. Sebenarnya pak Jarwo adalah tergolong kepala
keluarga yang bertanggung jawab, suka bergaul dan penuh kasih sayang kepada
istrinya dan terutama buah hatinya. ia adalah sosok bapak yang selalu bersukur
dengan pekerjaanya sebagai seorang guru, meskipun kebutuhan ekonomi sering juga
keteteran. Satu hal kebiasaan buruk yang ia sulit tinggalkan adalah “merokok”.
Meskipun ia tau bahwa kebiasaanya itu akan merugikan, baik itu berhubungan
dengan ekonomi keluarga maupun yang berhubungan dengan kesehatan tubuhnya.
Sesekali ia berhenti merokok tapi kenyataanya jari telunjuk yang dibantu dengan
jari tengahnya itu enggan untuk melepas sebatang rokok dan akhirnya “bool….!!!!bool….!!!!”
kepulan asap rokok tak pernah absen menghiasi sudut ruangan rumahnya yang terletak
di daerah Pucak Wangi. Desa yang begitu indah dan asri itu.
Terik matahari menjadi kuasa
keadaan. Cuaca memaksa keringat keluar dari setiap tubuh. Gerah dan panas yang
dirasa Candra siang itu. Usai sepulang sekolah Candra klibengan mencari
teman-temanya. Candra melihat di jalan-jalan, disudut-sudut perempatan desa tak
satupun teman-temannya ia jumpai. “huft… katanya tadi mau dolanan kosten (main
kelereng), kok konco-konco nggak ada yang nongol nih, pada kemana sih.?. ucap
si Candra dalam hati. Kalau di jalan-jalan tidak ada, Di perempatan juga tak
kunjung ia jumpai batang hidung kawan-kawanya, berarti tampat terahir pencarian
adalah hutan. “Ya…hutan, benar dihutan…!!!” seru semangat hati Candra yang
seolah membisikkan bahwa teman-temanya tengah berada di hutan. Dengan langkah
kaki seribu Candra berlari menuju hutan yang sebenarnya tidak jauh dari
rumahnya. Benar saja, ternyata memang benar teman-temannya tengah asyik bermain
di sana. Dengan nafas ngos-ngosan Candra segera bergabung tanpa ragu.
Sebenarnya tempat bermain ini bukanlah hutan melainkan tanah luas yang tidak
digarap oleh sang empunya. Sehingga kian hari, kian bulan dan kian tahun,
mungkin berwindu-windu dan berabad-abad, tanah itu ditumbuhi pohon-pohon yang
semakin hari semakin tinggi, besar dan rindang. Dan akhirnya tak nampak lagi
tanah kosong yang luas, yang terlihat kini adalah hijau. Hijau pekat refleksi
dari daun-daun pohon yang menjulang tinggi. Sangking miripnya lahan itu seperti
hutan, tak sedikit binatang-binatang liar beranak pinak di sana dan
berkomunitas tinggal menetap. Sepertinya tempat ini adalah surga bagi
binatang-binatang itu yang memang kodratnya membutuhkan tempat tinggal yang
sesuai dengan habitatnya. Tak salah juga, bila anak-anak desa pucak wangi
sering berkumpul di sini untuk sekedar main-main, memanjat pohon, menangkap
kecapung, mengoleksi kupu-kupu, ataupun mencari ikan di aliran sungai yang
berada di pinggiran hutan itu. Candra
dan kawan-kawanya berlari kesana-kemari, teriak kesana kemari, berpolah ria
semau mereka. Tak akan ada orang yang akan mendengar keributan mereka. Tak pula
akan ada orang yang teriak karena terganggu akan berisiknya polah mereka. Hal
inilah yang membuat anak-anak desa Pucak Wangi betah main disini. Seakan ini
adalah tempat persembunyian mereka sekaligus bermain bersama alam.
Bagi Candra tempat ini adalah
tempat istimewa. Ia bisa melewatkan hari-harinya dengan warna hijau, tangkai
pohon yang kokoh, suara burung yang berkolaborasi dari bermacam-macam burung
yang tinggal disana, kecapung terbang, kupu-kupu yang sedang melukis warna di
sayapnya, burung hantu yang mendekap anaknya di siang hari, kelelawar yang
bergelantungan, “ah…. Masih banyak lagi hal yang bisa dilihat di sini. Pokoknya
asyik-asyik dan mengasyikkan” pikir si Candra sambil menulis puisi dengan
posisi duduk di bawah pohon Mahoni yang besar itu. Sepertinya Candra telah
jatuh cinta dengan tempat ini. Candra suka menulis puisi, sebagian puisinya ia
hasilkan di sini. Kekuatan alam yang menakjubkan mendorong Candra berimajinasi
tinggi hingga mampu menuangkanya dalam deretan kata yang penuh makna. Kebiasaan
ini dilakukanya sampai ia dewasa, tumbuh dan berkembang menjadi pemuda tampan
dan gagah.
Suatu hari di terik matahari yang
memudar menjadi goresan emas senja, seperti biasa Candra duduk-duduk di bawah
pohon sembari memainkan mata melihat-lihat keadaan hutan yang telah menjadi
temanya itu. Tiba-tiba dari kejauhan terhalangi oleh pohon-pohon, ia melihat
sosok dengan warna dominan putih. Berjalan dari kejauhan dan mendekat-mendekat.
Hati Cndra mulai bertanya-tanya, jantungnya berdetak tak karuan, fikiranya
telah kemana mana. “ Ya Allah Gusti, enek wewe iki, enek wewe iki…!!!” derap
jantungnya semakin tak karuan, sosok mahkluk itu seakan melumpuhkan kaki Candra
yang sedari tadi ingin mengeluarkan jurus kaki seribunya. mahkluk itu semakin
mendekat dan mendekat, sampai akhirnya mahkluk itu benar-benar berdiri tegak di
depan Candra. Suasana hening, bibir Candra terkatup-katup mengucapkan doa-doa
seingatnya sambil menengkurepkan kepalanya kedalam lipatan kakinya. Tapi
suasana semakin hening dan Candra masih menundukkan kepala dengan keringat yang
mengucur dari badanya. Seakan ia sudah pasrah jika harus melihat sosok mahkluk
itu dan sampai mentoknya ia harus rela jika dibawa terbang entah kemana oleh
mahkul itu. “ oh… No..!!!” ungkap hati Candra. Kini suasana benar-benar hening.
Candra pun mulai bingung, tapi ia enggan untuk menaikkan kepala dan membuka
matanya itu. “apapun dan dimanapun saya sekarang, saya harus membuka mata”
“jangan-jangan saya telah berada di kerajaan para kuntilanak yang sibuk dengan
dekorasi pernikahan..? hah..??? jangan-jangan saya mau di jadiin mantu? So,
status saya yang tadinya mahasiswa UNDIP berubah jadi MENANTUNYA KUNTILANAK?
Oh…. Amit-amit jabang bayi…!!!” pikiran Candra sampai kemana-maa dan akhirnya
ia perlahan membuka mata sambil mencoba menerima pemandangan terburuk apa yang
akan ia lihat. Satu…, dua…, tiga,…. “Aaaaa………!!!!” Candra teriak.
“Aaaaaaaaaaaaaaaa…….” Ada suara teriakan juga selain suara candra. “ kang ada
apa kang? Kok histeris gitu”? suara lirih dari sosok yang benar-benar tepat di
depan kedua bola mata Candra. “huhf….huft…huft…” hela nafas Candra yang dari
tadi memikirkan ia telah berada di kerajaaan kuntilanak di hutan ini. ciptaan
Allah dengan rambut terurai panjang, berbaju warna biru muda, dengan mata sayu
seperti bulan sabit terbalik, Sambil menatap wajah sosok itu Candra berkata “
kamu siapa ?”bertanya sedari memastikan ia benar-benar anak manusia, bukan anak
kuntilanak, genderuwo ataupun kolor ijo. “ saya Karti kang, dari desa Winong..”
. “ lha kok ada di sini? Kamu mau apa?” balik Candra bertanya. “ saya tersesat
dihutan ini, tadi siang saya antar makanan ke sawah bapak, pas pulangnya saya tertarik
untuk istirahat di hutan ini, ndak sengaja saya melihat kupu-kupu warna ungu,
la wong ungu itu warna kesukaan saya e kang, ya saya langsung kejar kupu-kupu
itu, sampai masuk kedalam hutan ini, ndak taunya kupu-kupunya ilang dan pas mau
keluar ndak nemu jalan keluar, akirnya saya muter-muter thok di sini kang…
kang…” Karti menceritakan nasibnya yang tersesat itu. Candra semakin sadar
bahwa ini adalah anak manusia yang catik yang tersesat dan meminta bantuanya
untuk mengeluarkanya dari sini. “ayo… ikuti ak, tak tunjukin jalan keluarnya”.
“matur sembah suwun kang…” jawab Karti. Akhirnya mereka berdua sampai di luar
hutan dan Karti mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Candra. Karti
segera pamit pulang dan berjalan menuju galeng-galengan sawah, terus berjalan
dan sesembari menoleh kebelakang sambil melempar senyuman ke Candra yang dari
tadi menatap setiap gerak-gerik wanita jawa berparas ayu itu. Gerakanya yang
anggun, lemah gemulai semakin jauh dan menghilang di perempatan jalan. Candra
pun pulang dan tetap memikirkan wajah ayu Kartika.
Malampun larut, suara jangkrik
memberikan melodi khusus yang terdengar sampai ke telinga Candra yang sedari
tadi menatap langit-langit kamar tidurnya yang terbuat dari anyaman bambu itu.
Masih membayangkan paras anggun, berbaju putih dengan rambut terurai, seakan
masih terdengar lembut suara gadis yang
tadi sore ia jumpai di hutan itu. Sepertinya Candra tengah jatuh cinta dengan
gadis ini. Dan waktu tidurnya seakan direnggut oleh bayang-bayang gadis itu,
sambil sesekali mengucapkan nama “Kartika”. Dan sesekali juga lamunan itu
dibuyarkan oleh suara batuk bapaknya. “ uhuk…uhuk…uhuk….” Tiba tiba pikiran
Candra berubah memikirkan nasib ayahnya yang sampai sekarang masih saja
merokok, ngenesnya minggu lalu pak Jarwo sesak nafas sambil batuk-batuk yang
luar biasa, sampai-sampai ia mengeluarkan darah dari batuknya. Ternyata setelah
diperiksakan di dikter bahwa paru-paru pak
Jarwo bengkak karena infeksi. Kata dokter, ini merupakan penyakit kronis
yang serius dan perlu penanganan lebih lanjut. Masalah ini tentu menjadi beban
tersendiri bagi Candra dan Ngadiem. “pak ayo pak… kita operasi saja, penyakit
bapak sudah kronis, dan perlu penanganan lebih lanjut”. Ujar Ngadiem yang
sambil memijit-mijit kaki suaminya itu. “tapi buk…., uangnya dari mana, la wong
operasi itu butuh uang yang banyak,,,, uangnya soko ngendi to buk…buk….!!!”
Timbal pak Jarwo menyangkal bahwa ia tak mau di oprasi karena faktor biaya.
Suatu esok hari minggu, Candra
seperti biasa telah nangkring di bawah pohon-pohon sambil menanti
kawan-kawannya, difikiranya masih tak lengser sosok gadis yang ia jumpai sore
itu. tak disangka si Karti datang
menghampiri. “kang… ?kang… ?kang Candra kan”? “masih ingat dengan saya kang”? “tak cari-cari dari tadi rupanya
ada di sini”. Candra terkejut seolah dalam hatinya berkata “ pucuk diulang
cinta pun datang”. Candra mengiyakan pertanyaan Kartika barusan. “ Ia… ini saya
Candra, gimana kabarnya? Kok bisa sampai di sini lagi? Jangan-jangan tersesat
lagi ya? Lihat kupu-kupu warna ungu?
Atau lihat gajah warna ungu? He… he…” Kartika menjawab guyonan Candra ini
dengan senyuman malu-malu. “he..he… bukan kang, tadi saya dari sawah nganterin
makanan bapak. Ini kang… saya juga bawa nasi dan lauk seadanya untuk akang”.
“waduh…. Dek Karti ndak usah repot-repot. La wong rumah saya deket sini kok.
Kalo laper ya bisa langsung ngacir aja… he he he…”. “ ndak papa kang, tadi saya
bawa bekal dua, dan yang satu ini khusus untuk akang. Anggap saja sebagai tanda
terima kasih.” Suasanapun semakin cair dan mereka saling bercerita satu sama
lain. Setiap akhir pekan mereka selalu janjian di tempat itu, bercerita dan
saling bercanda hingga akhirnya benih-benih cinta tumbuh di dada kedua insan
itu. Rasa kagum itu nampaknya telah berubah menjadi pohon-pohon cinta yang
tumbuh dan semakin tumbuh membuahkan rasa saling menyayangi satu sama lain.
Nampaknya kedua anak manusia ini telah benar-benar jatuh cinta dari pandangan
pertama. Janji-janjipun terukir manis dari bibir keduanya untuk saling setia.
Seakan tak akan ada yang bisa memisahkan kedua hati yang telah terkait rapat
dengan gembok asmara ini. Benar-benar dimabuk asmara.
Candra kini menjalani hari-harinya
dengan penuh semangat. Bahkan lebih semangat dari hari biasanya. Ya… benar.
Kartikalah yang memanah hati Candra hingga ia bisa sesemangat ini. Candra
belajar dengan tekun agar segera menyelesaikan kuliahnya dan bekerja supaya
suatu saat nanti ia bisa memperistri Kartika. Namun di sudut lain, visi Candra
terhalang oleh kondisi bapaknya, yang sekarang sakit-sakitan dan telah pensiun
dini dari pekerjaanya sebagai pengajar. Kini uang kuliah Candra tertunda,
bahkan sumber keuangan dari gaji pensiunya hanya mampu menutupi kebutuhan hidup
sehari-hari. Sedangkan pak Jarwo kondisinya sudah kronis dan harus segera di
operasi.
“thok…thok…thok….” Sepertinya ada
seseorang yang datang ke rumah pak Jarwo. Ngadiem segera membuka pintu. Dan
melihat siapa gerangan yang bertamu. Rupanya itu adalah pak Karnoto. “ oh… pak
Karnoto, monggo pak masuk….silahkan.”. pak Karnoto adalah mandor terkenal di
desa sebelah, yakni desa Winong. berkecimpung di dunia proyek-proyek bangunan
dia biangnya. Dengan berbaring dan masih batuk-batuk pak Jarwo juga
mempersilahkan tamunya itu untuk duduk, Candra yang sedari tadi masih berada di
dalam kamar, enggan untuk keluar kamar, nampaknya ia lebih memilih untuk sibuk
melamunkan Kartika gadis pujaanya itu. Sedangkan di ruang tamu nampaknya tengah
terjadi perbincangan serius antara pak Jarwo, bu Ngadiem dan pak Karnoto.
Sayup-sayup Candra mendengar perbincangan ini, beberapa potong kata mengambil
perhatianya. “ tanah..???, hutan..???, mall…,?” Candra pun semakin tak mengerti
apa maksud pembicaraan mereka. Perasaan tak enak mulai berkecamuk di fikiran
Candra. Nampaknya ini ada hubunganya dengan hutan yang tak jauh dari rumahnya
yang merupakan tempat ia belajar memahami alam. Dengan sabar ia menunggu sampai
tamu itu pulang. “permisi pak, saya mohon diri, saya berdo’a supaya pak Jarwo
lekas sembuh”. Ujar pak Karnoto. Setelah suara dan langkah kaki pak Karnoto
menghilang, Candra pun segera keluar dari kamar dan tanpa sungkan menanyakan
hal ini kepada kedua orang tuanya itu. Pak Jarwo terdiam sambil sibuk
batuk-batuk pertanda penyakitnya semakin parah. Bu Ngadiem mencoba menjelaskan
pembicaraan barusan. Dan benar saja, ini ada hubunganya dengan hutan. Ternyata
pak Karnoto tertarik sekali ingin membuat mall di daerah ini. Menurutnya ini
adalah salah satu bentuk pembanguna masyarakat menjadi lebih maju. Dan sebagai
tumbalnya adalah hutan. Lokasi hutan yang luas itu adalah tempat strategis yang
akan dijadikan mall. Candra termenung sejenak, ia seakan tak mengira bahwa
hutanya yang ia sayangi, hutanya tempat belajar dengan alam, hutanya yang
mempertemukanya dengan cinta Kartika, dan…. Sekarang ia akan berubah menjadi
gedung pusat perbelanjaan..???? Candra masih tak percaya ucapan ibunya barusan.
“lalu apa hubunganya dengan pembangunan mall itu dengan bapak..?” tanya Candra
menimbali. Pak Jarwo hanya diam dengan tarikan nafas yang tersengal-sengal. Dan
akhirnya ibunya menjelaskan lagi. Sangat terkejut ketika Candra mengetahui
bahwa hutan luas itu memang benar awalnya adalah tanah luas yang kosong. Tanah
itu adalah milik nenek moyang Candra yang dulu telah diwariskan dengan kedua
orang tuanya sebagai hadiah pernikahan. nyesek…. Nyesek… nyesek… dan nyesek ,
ternyata hal penting ini baru diketahui Candra. Candra pun memberontak dan
marah semarah marahnya. “ ibuk, bapak, tahukah? Hutan itu adalah nafas.
Nafasku. Bukan hanya nafasku, tapi adalah nafas bagi seluruh pohon-pohon dan
binatang-binatang disana. Di sana banyak kehidupan. Lupakah ibu dengan banjir 2
tahun yang lalu yang terjadi di desa sebelah? Yang memakan korban 10 orang itu?
Mengapa desa kita tak ikut diterjang bandang itu bu? Hutan. Dengan perantara
hutan Allah menolong desa kita bu,… masihkah kita ingin memusnahkanya bu???.
Candra seolah geram dan tak terima. “ uhuk…uhuk…uhuk….” Suara batuk ayahnya dan
kesekian kalinya nmengeluarkan darah. “ pak… bapak…??? Bapak ndak papa kan..?”
Candra dan Ibu segera merengkuh pak Jarwo. Ibu menitikan air mata melihat
kondisi suaminya yang kian memburuk. Candrapun mengusap bekas darah yang keluar
dari mulut bapaknya itu. Kini Candra mulai terdiam ia tak boleh mementingkan
egonya, sedangkan bapaknya sedang sekarat seperti ini. Bapaknya perlu biaya,
dan memang benar harta satu-satunya yang mereka miliki adalah tanah luas itu
yang sekarang menjelma menjadi hutan.
Ini menjadi beban tersendiri bagi
Candra. Di sisi lain ia harus mempertahankan hutanya unutk menyelamatkan
berbagai ekosistem di sana. Tapi, di sisi lain bapaknnya perlu bianya banyak
unutk operasi penyakit yang diderita bapaknya itu. Candra merenung bibawah
pohon, sambil melihat sekitar hutan, ia masih tak percaya jika hijaunya daun
akan berubah menjadi tembok-tembok dinding besar, kijauan burung akan terganti
menjadi keramaian pusat perbelanjaan, suara kendaraan pasti akan lalu lalang di
sisni. Ia juga tak akan bisa menjumpai pohon-pohon yang telah ditanamnya
bersama Karti. Semuanya akan berubah. “
oh Ya Rabb… aku masih tak percaya semua ini”. Lirih Candra.
Goresan senja terlukis di langin
yang mendung. Menyelimuti desa Pucak Wangi. Sepertinya hujan mau turun. Dan
Candra memutuskan unutk segera pulang. Sesampainya di rumah ia melihat sekitar
meja ruang tamunya. Ada bekas gelas, nampaknya barusan ada tamu yang datang.
Candra masuk ke kamar dan tak
menghiraukan. Tiba-tiba ibunya memanggil untuk segera datang ke ruang tamu.
“ada hal penting yang akan ibu bicarakan padamu nak..” kata Ngadiem sambil
menyuapi suaminya yang sudah setahun tak bisa berjalan alias lumpuh. Candra
segera datang dan duduk di samping ibunya denga memijit-mijit kaki bapaknya
yang lumpuh itu. Ibu mulai membuka pembicaraan. Dan Candra menyimak dengan
seksama, seolah ia tau ini adalah hal penting. “ nak… bapak sudah semakin
parah. Harus segera dioperasi dan kita harus ihklas mengorbankan tanah kita di
jual. Ibu tau tanah yang sekarang menjelma hutan itu, sekarang sangat penting
bagi semua, desa kita dan tak terkecuali adalah binatang-binatang yang menghuni
di sana. ibu juga tau hutan itu adalah tempat kasayaganmmu,” kata ibu
melanjutkan bahwa barusan Pak Karnato datang dan ibu menjelaskan perihal
pentingnya hutan itu bagi kita. Candra sontak bertanya kepada ibunya. “ lalu
apa tanggap pak Karnoto buk..”?. Ngadiem mencoba menjelaskan semuanya bahwa pak
Karnoto akan mengurungkan niatnya tentang perihal pembuatan mall. Pak Karnoto
tetap prihatin dengan kondisi ayahnya. Dan pak Karnoto mengajukan tawaran bahwa
ia akan menanggung biaya operasi bapaknya dan membatalkan hutan itu dijual. “oh
ya…. Kok bisa bu?” Ngadiem segera menjawab. “tapi, itu semua ada saratnya, kamu
harus menikah dengan anaknya..!!!” perkataan ibunya ini membuat Candra terdiam
sejenak. Seketika suasana menjadi hening. Begitu hebatnya suasana hati Candra
yang tergoncang, berkecamuk, dan hancur berkeping. Hutanya, ayahnya, dan
cintanya. Kini Candra benar-benar sedang di uji. Hutanya aka tetap menghijau
karena mall batal dibangun, ayahnya akan sembuh setelah operasi dengan biaya
ditanggung pak Karnoto. Tapi, sebagai gantinya ia harus menikah dengan gadis
lain. Bagaimana dengan cinta dan janji-janjinya dengan Kartika?. Seakan menolak
hati Candra dengan keadaan ini. Cintanya cukup besar kepada Kartika. Namun ia
sungguh tak tega melihat ayahnya tergolek lemas seperti ini. “nak… semua terserah
padamu, ibu tau ini putasan yang begitu sulit untukmu, nyuwun petunjuk marang
Gusti Allah, supaya tenang hatimu dan tak salah memutuskan..!!!” seru Ngadiem
menasehati Candra. Siang dan malam Candra hanya merenung, merenung, dan
merenung tanpa memberikan kepastian. Tetapi bapaknya harus segera dioperasi
sebelum hal buruk terjadi. Kini ia telah memutuskan ia harus mengorbankan
antara ayah, hutan, ataupun cintanya. Dan sungguh dengan hati yang berkecamuk
ia memilih untuk menyetujui tawaran dari pak Kartono. Semoga ini benar-benar
petunjuk dari Allah.
Malam ini adalah acara pertemuan
antar keluarga diadakan untuk saling mengenal calon mempelai masing-masing. Sebentar
lagi pak Kartono dan rombonganya datang ke rumah pak Jarwo. Pak jarwo yang
masih lumpuh dipakaikan baju batik dan terlihat semangat. Namun duduk di atas
kursi, Candra masih merenung, merenung akan cintanya yang telah dalam dengan
Kartika, dan kini ia harus berhianat karena harus menikahi wanita lain. “Ya
Rabb… semoga ini adalah putusan terbaik, bimbing kami….Ya Rabb…!!!! . Candra
berusaha tersenyum untuk menutupi kesedihanya. Tapi tetap saja senyumnya
terlihat datar. “ Assalamualaikum..!!!” terdengar suara dari luar. Ternyata
rombongan Pak Kartono telah tiba. Semua tamu dipersilahkan masuk. Dan apa yang
terjadi? Mata candra terbelalak melihat sesosok wanita anggun berkonde dan
berhias rapi yang sama-sama menatapkan mata kepadanya. Seakan ia kenal dengan
sinar mata itu. “ loh… kang.. kang Candra kan…???? Kok ada di sini???” ujar
wanita itu. Candra sontak berdiri dan membalas. “ dek… kamu dek Kartika kan?
Benar saja. Wanita itu adalah kartika. “wealah nduk-nduk kalian sudah saling
kenal to? Ini adalah calon suamimu.!”. ujar pak Kartono. Ternyata wanita yang
dijodohkan dengan Candra adalah Kartika. Berkaca-kaca air mata Candra keluar
menandakan sungguh ini mengharukan. Ini rencana Allah yang tak ia duga. “Ya
Rabb…subhanallah ini adalah kuasamu”. Sambil berlari Candra berlari menuju
ayahnya dan mencium kening ayah dan ibunya. Sesekali ia juga teringat akan hutanya
yang ternyata penuh dengan pelajaran untuk saling menjaga. Dalam hati ia
berkata “ ini ayahku, ini hutanku, dan
ini cintaku…!!!”. Pernikahan berlangsung dan pak Jarwo sekarang telah
sembuh. Keluarga ini kini berjanji akan menjaga hutan itu, sebagai bukti bahwa
hutan mempunyai kekuatan luar biasa yang datang dari sang penciptanya yakni
Allah SWT.
Palembang,
21 November 2012.
Rabu,
22:01 pm.
THE
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo dikasih masukan ya...