“DENTUMAN PENYESALAN”
Hiruk pikuk kepala-kepala
orang keluar masuk pusat perbelanjaan di kota Palembang. Palembang Square, ya
inilah salah satu pusat perbelanjaan di Kota Palembang yang tak pernah absen
dari kesibukan orang-orang dengan aktivitasnya masing-masing.
Ada yang bekerja di sini, ada yang jualan, dan ada juga yang hanya sekedar berjalan-jalan bersama keluarga, teman, maupun pacar. Palembang Squere menjadi tempat istimewa bagi mereka. Intinya disinilah pusatnya keramaian. Namun......,,,,tak seindah gemerlap keramaian Palembang Square, ketika sang malam menaburkan kegelapan, sesaat garis-garis hujan jatuh berbaris-baris menyentuh bumi. Menghiasi wajah-wajah yang kian melelah. Menandakan inilah kehidupan manusia-manusia bumi yang melelahkan dirinya demi ambisi yang diimpikan.
Ada yang bekerja di sini, ada yang jualan, dan ada juga yang hanya sekedar berjalan-jalan bersama keluarga, teman, maupun pacar. Palembang Squere menjadi tempat istimewa bagi mereka. Intinya disinilah pusatnya keramaian. Namun......,,,,tak seindah gemerlap keramaian Palembang Square, ketika sang malam menaburkan kegelapan, sesaat garis-garis hujan jatuh berbaris-baris menyentuh bumi. Menghiasi wajah-wajah yang kian melelah. Menandakan inilah kehidupan manusia-manusia bumi yang melelahkan dirinya demi ambisi yang diimpikan.
“ah... kenapa aku melamun
gini sih, tu ada mbak-mbak mau nyebrang kehujanan....!!! sodorin payung
gih....!!!” ujar Muhsanto dalam hati yang sedari tadi duduk ditepi jalan tepat
di depan Palembang Square Mall. Memang ia sering melamun memandangi orang-orang
yang keluar masuk lewat pintu utama mall yang megah itu. Beberapa area mall
yang terbuat dari kaca membuat aktivitas yang ada di dalamnya terlihat jelas.
Ada yang sedang memilih-milih baju di Grand JM, Ada yang menikmati makanan
cepat saji KFC, ada yang nenteng-nenteng belanjaan dan pokoknya masih banyak
lagi kegiatan manusia-manusia di dalam sana. Namun Muhsanto segera membubarkan
pemandangan-pemandangan itu dan segera menghampiri mbak-mbak yang mau nyebrang.
Derasnya hujan membuat
orang-orang yang ingin keluar dari mall takut kebasahan dan inilah peluang emas
bagi beberapa orang yang ingin mengadu kekuatan badanya disini. Beberapa orang
rela badanya diserbu dinginnya air hujan demi menawarkan payung-payungnya. Ya
benar... mereka adalah ojek payung. Dan benar juga, salah satu diantara
penawar-penawar payung itu adalah Muhsanto.
Muhsanto. Ya benar... dia
adalah Muhsanto. Dengan badan kurus dan rambut ikalnya berbalut kaos oblong
putih bersanding dengan jeans pensil.
Sekilas ia terlihat sebagai remaja umur 17-an. Acap kali bercermin, Muhsanto
sering tersenyum sendiri melihat wajahnya dengan sedikit kumis tipis di bawah
hidungnya itu.
“ wah... aku ganteng juga
ya... mirip Kevin viera. Xixixixixixixi....”
Muhsanto masih senyum-senyum
sendiri di kamar kos-kosanya sembari memegang cermin kecil ukuran 10x10 cm yang
retak dibagian ujunya itu. Namun cekikik Muhsanto tiba-tiba terhenti ketika ia
menoleh ke arah samping kanannya. Di sana
tak jauh dari tempat Muhsanto bercermin, ia memandangi dua bocah kembar sedang
tertidur pulas. Sesekali Muhsanto tersenyum melihat tetesan iler yang keluar
dari mulut mungil kedua bocah itu. Muhsanto kembali menatap cerminya dan
seketika kedua alisnya mengkerut dan matanya meredup, namun masih dalam posisi
menatap sang kaca. Ia memandangi kaca dan berkata dalam hati.
“ Dini dan Dono, tumbuhlah menjadi anak-anak
yang saleh dan salehah, di sini bapak akan membesarkanmu....!!!!”.
Benar. Laki-laki berumur
remaja ini adalah ayah kandung dari kedua bocah kembar itu, bocah kembar
berkelamin beda itu diberi nama Dini dan Dono.
Dan tak perlu waktu lama, pikiran Muhsanto
lalu tertuju pada Hesti. Hesti yang ia nikahi 4 tahun yang lalu dengan mas
kawin seperangkat alat sholat. Kening Hesti masih terasa di bibir Muhsanto.
Ketika pak ketib sukses melaksanakan ijab qabul pernikahanya, Muhsanto
melayangkan kecupan manis di kening istrinya. Hesti sosok wanita sederhana yang
sangat ia cintai. Bagi Muhsanto, Hesti adalah tulang rusuknya yang tak bisa
digantikan dengan yang lain. Begitu juga Hesti. Hesti sangat menyayangi
Muhsanto.
Dengan suasana hati yang
menaburkan persendian rasa dan duka, menggetarkan dinding-dinding hatinya,
ketika air mata membasahi pesona senyumnya, angin malam tersipu malu,
sayup-sanyup menertawakan keluh Muhsanto. Angin-angin bersemilir menyentuh
harapannya yang telah hancur, kilatan petir menyayat-nyayat kepedihan. Seakan
semuanya menggerutu dan memprotes diri Muhsanto. keadaan sekarang telah
berubah. Hesti telah satu tahun tak pulang kerumah. Terdengar suara kabar bahwa
Hesti sekarang tinggal bersama keluarganya.
“arrrrrrrrgggghhh....!!!!
aku manusia tiada guna...!!!! aku manusia tolol...!!!!”
Keluh Muhsanto sambil
menjambak rambut keritingnya itu. Ia menyalahkan dirinya sendiri manakala
mengingat keperihan hidupnya. Perih karena dihimpit ekonomi, matanya berkalut
kesah gelisah karena tak mempunyai penghasilan tetap. Ditambah lagi kerontang
hatinya yang kosong dari belaian Hesti yang notabene masih menjadi istri sah
Muhsanto.
Satu tahun lalu orang tua
Hesti meminta anaknya pulang, dan tak mengizinkan lagi Hesti bersama Muhsanto.
Tak perlu ditanya lagi. Mengapa orang tua Hesti bersikap seperti itu. Alasanya
hanya satu. Yakni ekonomi Muhsanto yang dianggap tak bisa menghidupi Hesti.
“Muhsanto... muhsanto... itu
kan istrimu sah, kenapa tidak kau jemput saja ia dari rumah orang tuanya...???
kenapa...???
takut...???”.
Seruan nurani Muhsanto
tatkala ia berniat menjemput pulang istrinya. Namun niat itu selalu dikalahkan
oleh rasa bersalah Muhsanto yang memang benar-menar ia tak mampu menghidupi
keluarga kecilnya itu. Belum lagi cibiran-cibiran sengit dari mulut mertuanya
yang menambah sesak pikiran dan hati Muhsanto. Rasa bersalah ini pernah
dijadikan putusan Muhsanto untuk mengakhiri hidupnya. Ia malu... malu...dan
benar-benar malu karena merasa telah gagal membina keluarga. Untung saja nurani
Muhsanto masih melirik pada Dini dan Dono. Buah hatinya bersama Hesti. Dini dan
Dono seakan menjadi nafas baru baginya untuk terus hidup di bundaran bumi ini.
Semakin hari perekonomian
Muhsanto semakin parah. Ia selalu menatap langit dan terus menatap langit.
Ketika langit terlukis mendung, sesaat bibir Muhsanto melebar tersenyum. Ini
menandakan akan hujan dan panyung satu-satunya yang ia miliki siap berkelana menangkis
air hujan demi mencari lembaran uang bergambar Patimura.
“Alhamdulilah....Setidaknya bisa untuk sarapan
besok pagi...”
Muhsanto tersenyum. Namun
senyum itu tak bertahan lama tinggal di bibirnya. Karena ia teringat bahwa
hasil ojek payung malam ini hanya bisa untuk makan besok pagi.
“Lantas untuk nanti malam...?????”
wajah muhsanto kembali
berlipat galau memikirnya kehidupanya esok, esoknya, dan esoknya sampai
seterusnya. Sungguh malang jika hari ini tidak hujan. Maka jelaslah Muhsanto
harus memperingatkan perutnya untuk tak bersentuh makanan. Namun bagaimana
dengan Dini dan Dono...?. apakah bocah kembar berumur 2 tahun itu harus ikut
berpuasa?. Dan tak perlu jawaban. Pertanyaan-pertanyaan ini sungguh menyiksa
batin Muhsanto.
Benar saja. Gelapnya malam
ini tak bertuju pada Muhsanto. Malam ini hujan tak turun. Ini berarti tak akan
ada uang Patimura yang hinggap di tangan Muhsanto. Ia gelisah. Kegelisahan itu
membawanya untuk memutar otak. Ia ingat dengan salah orang kawanya. Muhsanto
datang dan menceritakan kehidupanya yang carut-marut. Ia menyampaikan niatnya.
Barangkali ada pekerjaan. Sungguh berunutng, Ia ditawarkan untuk menjadi ojek
saja. Hasilnya lumayan jika dibandingkan lembaran Patimura dari ojek payung.
Paling tidak ia bisa memegang lembaran Imam Bonjol atau jika sedang rejeki
memihak maka Oto Iskandar Dinata hinggap ditanganya.
Akhirnya demi sesuap nasi,
Muhsanto menjadi tukang ojek dengan pinjaman motor temanya itu. Tentunya
hasilnya harus dibagi dua dengan pemilik motor. Hari-harinya kini sedikit
cerah. Muhsanto rajin mangkal di pangkalan ojek menunggu pelanggan. Suatu hari Muhsanto
mendapat pelanggan dan seperti biasa ia mengantarkan pelanggan sesuai dengan
tujuanya.
“ia mbak... mbaknya mau
sampai mana..?” . Muhsanto bertanya.
“tolong dianter sampai IAIN
ya mas...!!!”. jawab pelanggan tersebut.
Seketika dentuman keras
berasal dari jantung Muhsanto terdengar. Ya, tentunya hanya Muhsanto yang bisa
mendengar dentuman jantungnya sendiri. Ia kaget. Hatinya serasa
melonjak-lonjak. Fikiranya beralih pada ingatan kenestapaan.
“IAIN Raden Fatah ....????” tanya
Muhsanto memastikan.
Ia pun memaksa melupakan
dentuman keras jantungnya dan segera mengantarkan pelangganya tersebut. Sungguh
ada perasaan aneh yang timbul di hati Muhsanto kala dalam perjalanan menuju
IAIN. Dan akhirnya ia sampai ke gerbang utama.
“ ini mas ongkosnya...
terima kasih ya...!!!” kata pelangganya setelah ia sampai dan turun tepat di
gerbang utama IAIN dan berjalan masuk ke dalam. Muhsanto memandangi jalan
pelangganya itu yang terus berjalan masuk hingga sosoknya menghilang dari
pandangan Muhsanto.
Namun bukan pelanggan itu
yang sedari tadi membuat perasaan Muhsanto jadi aneh. Seketika ia memandangi
lingkungan IAIN. Fikiranya tiba-tiba melayang ke masa silam 4 tahun yang lalu.
Cintanya bersama Hesti. Ya.. benar, disinilah ia bertemu bersama Hesti. Kala
itu mereka adalah mahasiswa baru dan mereka saling berkenalan di masa ospek.
Hingga benih-benih cinta mulai tumbuh. Kedua insan yang telah dimabuk asmara
ini, benar-benar terlena dengan indahnya cinta. Namun aneh, biasanya orang yang
sedang jatuh cinta akan membuat sang empunya hati bersemangat. Berpacu menjadi
lebih kencang unutk belajar. Namun ini berbeda. Muhsanto salah dalam
memanajemen cinta dan pendidikanya. Sampai-sampai Muhsanto tak memiliki
semangat belajar lagi. Ia sering bolos dan menitipkan absen dan lebih memilih
janjian dengan Hesti. Hingga akhirnya ketika menginjak semester 3 nilai
Muhsanto turun. Alih-alih mengubah belajar lebih giat lagi untuk memperbaiki
nilainya, tetapi sungguh dikejutkan ketika Muhsanto lebih memutuskan untuk
menikah saja. Nampaknya Muhsanto telah keblinger dengan cintanya. Ia berfikir
jika pendidikan tidak perlu. Orang tuanya kaya, dan ia bisa bergantung dari
kekayaan orang tuanya yang seorang pengusaha itu. Kekecewaan orang tuanya
terlukis, harapan agar anaknya lulus S1 menjadi sirna. Namun... orang tua
tetaplah orang tua, yang memiliki hati nurani selembut sutra dan seluas
samudra, menyejukkan jiwa-jiwa keturunanya. Meski orang tua Muhsanto kecewa
atas keputusan anaknya itu, mereka mengikuti keputusan Muhsanto. Dan menikahkan
putra satu-satunya itu dengan harapan keputusan ini lebih baik unutk kedepanya.
Dan benar saja. Muhsanto
memutuskan kuliahnya dan menikah dengan Hesti. Awal pernikahan mereka hidup
serba kecukupan karena masih dibantu oleh orang tuanya. Namun semua berubah
ketika usaha orang tuanya bangkrut dan Muhsanto harus menerima takdir. Ia harus
mencukupi kehidupanya sendiri. Hidup lontang lantung tak memiliki pekerjaan.
Dan sekarang ia tersadar
dari lamunyanya. Ia menatap gerbang IAIN itu dengan wajah sendu. Hatinya
kembali berdentum. Seolah mendentumkan kata-kata lirih. “Kenapa dulu ia tak
serius belajar, kenapa dulu ia menyia-nyiakan waktunya, kenapa ia dulu tak
mempedulikan pendidikan, kenapa dulu ia tak menyelesaikan kuliahnya”. Dentuman
demi dentuman penyesalan hatinya terus berdentum menandakan jiwa manusia ini
benar-benar menyesali hidupnya.
Remaja dengan dua anak
kembar ini menundukkan kepala dan segera mengengkol motornya, pandanganya meninggalkan
gerbang IAIN sambil berucap.
“ Dini dan Dono anakku....cepat
dan tumbuhlah kalian menjadi dewasa. Berbaktilah pada orang tuamu, taatlah pada
agamamu, jadilah anak-anak yang sukses. Dan jangan kalian warisi DENTUMAN PENYESALAN ayahmu
ini.....!!!!!”. THE END....!!!!!!
CREATED BY : RUSMIATININGSIH
FAK/JUR : ADAB DAN HUMANIORA/ILMU
PERPUSTAKAAN
CP : 085669588872
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo dikasih masukan ya...