Selasa, 21 Mei 2013

DENTUMAN PENYESALAN


DENTUMAN PENYESALAN”
Hiruk pikuk kepala-kepala orang keluar masuk pusat perbelanjaan di kota Palembang. Palembang Square, ya inilah salah satu pusat perbelanjaan di Kota Palembang yang tak pernah absen dari kesibukan orang-orang dengan aktivitasnya masing-masing.
Ada yang bekerja di sini, ada yang jualan, dan ada juga yang hanya sekedar berjalan-jalan bersama keluarga, teman, maupun pacar. Palembang Squere menjadi tempat istimewa bagi mereka. Intinya disinilah pusatnya keramaian. Namun......,,,,tak seindah gemerlap keramaian Palembang Square, ketika sang malam menaburkan kegelapan, sesaat garis-garis hujan jatuh berbaris-baris menyentuh bumi. Menghiasi wajah-wajah yang kian melelah. Menandakan inilah kehidupan manusia-manusia bumi yang melelahkan dirinya demi ambisi yang diimpikan.
“ah... kenapa aku melamun gini sih, tu ada mbak-mbak mau nyebrang kehujanan....!!! sodorin payung gih....!!!” ujar Muhsanto dalam hati yang sedari tadi duduk ditepi jalan tepat di depan Palembang Square Mall. Memang ia sering melamun memandangi orang-orang yang keluar masuk lewat pintu utama mall yang megah itu. Beberapa area mall yang terbuat dari kaca membuat aktivitas yang ada di dalamnya terlihat jelas. Ada yang sedang memilih-milih baju di Grand JM, Ada yang menikmati makanan cepat saji KFC, ada yang nenteng-nenteng belanjaan dan pokoknya masih banyak lagi kegiatan manusia-manusia di dalam sana. Namun Muhsanto segera membubarkan pemandangan-pemandangan itu dan segera menghampiri mbak-mbak yang mau nyebrang.
Derasnya hujan membuat orang-orang yang ingin keluar dari mall takut kebasahan dan inilah peluang emas bagi beberapa orang yang ingin mengadu kekuatan badanya disini. Beberapa orang rela badanya diserbu dinginnya air hujan demi menawarkan payung-payungnya. Ya benar... mereka adalah ojek payung. Dan benar juga, salah satu diantara penawar-penawar payung itu adalah Muhsanto.
Muhsanto. Ya benar... dia adalah Muhsanto. Dengan badan kurus dan rambut ikalnya berbalut kaos oblong putih bersanding dengan  jeans pensil. Sekilas ia terlihat sebagai remaja umur 17-an. Acap kali bercermin, Muhsanto sering tersenyum sendiri melihat wajahnya dengan sedikit kumis tipis di bawah hidungnya itu.
“ wah... aku ganteng juga ya... mirip Kevin viera. Xixixixixixixi....”
Muhsanto masih senyum-senyum sendiri di kamar kos-kosanya sembari memegang cermin kecil ukuran 10x10 cm yang retak dibagian ujunya itu. Namun cekikik Muhsanto tiba-tiba terhenti ketika ia menoleh ke arah samping kanannya. Di sana  tak jauh dari tempat Muhsanto bercermin, ia memandangi dua bocah kembar sedang tertidur pulas. Sesekali Muhsanto tersenyum melihat tetesan iler yang keluar dari mulut mungil kedua bocah itu. Muhsanto kembali menatap cerminya dan seketika kedua alisnya mengkerut dan matanya meredup, namun masih dalam posisi menatap sang kaca. Ia memandangi kaca dan berkata dalam hati.
 “ Dini dan Dono, tumbuhlah menjadi anak-anak yang saleh dan salehah, di sini bapak akan membesarkanmu....!!!!”.
Benar. Laki-laki berumur remaja ini adalah ayah kandung dari kedua bocah kembar itu, bocah kembar berkelamin beda itu diberi nama Dini dan Dono.
 Dan tak perlu waktu lama, pikiran Muhsanto lalu tertuju pada Hesti. Hesti yang ia nikahi 4 tahun yang lalu dengan mas kawin seperangkat alat sholat. Kening Hesti masih terasa di bibir Muhsanto. Ketika pak ketib sukses melaksanakan ijab qabul pernikahanya, Muhsanto melayangkan kecupan manis di kening istrinya. Hesti sosok wanita sederhana yang sangat ia cintai. Bagi Muhsanto, Hesti adalah tulang rusuknya yang tak bisa digantikan dengan yang lain. Begitu juga Hesti. Hesti sangat menyayangi Muhsanto.
Dengan suasana hati yang menaburkan persendian rasa dan duka, menggetarkan dinding-dinding hatinya, ketika air mata membasahi pesona senyumnya, angin malam tersipu malu, sayup-sanyup menertawakan keluh Muhsanto. Angin-angin bersemilir menyentuh harapannya yang telah hancur, kilatan petir menyayat-nyayat kepedihan. Seakan semuanya menggerutu dan memprotes diri Muhsanto. keadaan sekarang telah berubah. Hesti telah satu tahun tak pulang kerumah. Terdengar suara kabar bahwa Hesti sekarang tinggal bersama keluarganya.
“arrrrrrrrgggghhh....!!!! aku manusia tiada guna...!!!! aku manusia tolol...!!!!”
Keluh Muhsanto sambil menjambak rambut keritingnya itu. Ia menyalahkan dirinya sendiri manakala mengingat keperihan hidupnya. Perih karena dihimpit ekonomi, matanya berkalut kesah gelisah karena tak mempunyai penghasilan tetap. Ditambah lagi kerontang hatinya yang kosong dari belaian Hesti yang notabene masih menjadi istri sah Muhsanto.
Satu tahun lalu orang tua Hesti meminta anaknya pulang, dan tak mengizinkan lagi Hesti bersama Muhsanto. Tak perlu ditanya lagi. Mengapa orang tua Hesti bersikap seperti itu. Alasanya hanya satu. Yakni ekonomi Muhsanto yang dianggap tak bisa menghidupi Hesti.
“Muhsanto... muhsanto... itu kan istrimu sah, kenapa tidak kau jemput saja ia dari rumah orang tuanya...???
kenapa...???
 takut...???”.
Seruan nurani Muhsanto tatkala ia berniat menjemput pulang istrinya. Namun niat itu selalu dikalahkan oleh rasa bersalah Muhsanto yang memang benar-menar ia tak mampu menghidupi keluarga kecilnya itu. Belum lagi cibiran-cibiran sengit dari mulut mertuanya yang menambah sesak pikiran dan hati Muhsanto. Rasa bersalah ini pernah dijadikan putusan Muhsanto untuk mengakhiri hidupnya. Ia malu... malu...dan benar-benar malu karena merasa telah gagal membina keluarga. Untung saja nurani Muhsanto masih melirik pada Dini dan Dono. Buah hatinya bersama Hesti. Dini dan Dono seakan menjadi nafas baru baginya untuk terus hidup di bundaran bumi ini.
Semakin hari perekonomian Muhsanto semakin parah. Ia selalu menatap langit dan terus menatap langit. Ketika langit terlukis mendung, sesaat bibir Muhsanto melebar tersenyum. Ini menandakan akan hujan dan panyung satu-satunya yang ia miliki siap berkelana menangkis air hujan demi mencari lembaran uang bergambar Patimura.
 “Alhamdulilah....Setidaknya bisa untuk sarapan besok pagi...”
Muhsanto tersenyum. Namun senyum itu tak bertahan lama tinggal di bibirnya. Karena ia teringat bahwa hasil ojek payung malam ini hanya bisa untuk makan besok pagi.
 “Lantas untuk nanti malam...?????”
wajah muhsanto kembali berlipat galau memikirnya kehidupanya esok, esoknya, dan esoknya sampai seterusnya. Sungguh malang jika hari ini tidak hujan. Maka jelaslah Muhsanto harus memperingatkan perutnya untuk tak bersentuh makanan. Namun bagaimana dengan Dini dan Dono...?. apakah bocah kembar berumur 2 tahun itu harus ikut berpuasa?. Dan tak perlu jawaban. Pertanyaan-pertanyaan ini sungguh menyiksa batin Muhsanto.
Benar saja. Gelapnya malam ini tak bertuju pada Muhsanto. Malam ini hujan tak turun. Ini berarti tak akan ada uang Patimura yang hinggap di tangan Muhsanto. Ia gelisah. Kegelisahan itu membawanya untuk memutar otak. Ia ingat dengan salah orang kawanya. Muhsanto datang dan menceritakan kehidupanya yang carut-marut. Ia menyampaikan niatnya. Barangkali ada pekerjaan. Sungguh berunutng, Ia ditawarkan untuk menjadi ojek saja. Hasilnya lumayan jika dibandingkan lembaran Patimura dari ojek payung. Paling tidak ia bisa memegang lembaran Imam Bonjol atau jika sedang rejeki memihak maka Oto Iskandar Dinata hinggap ditanganya.
Akhirnya demi sesuap nasi, Muhsanto menjadi tukang ojek dengan pinjaman motor temanya itu. Tentunya hasilnya harus dibagi dua dengan pemilik motor. Hari-harinya kini sedikit cerah. Muhsanto rajin mangkal di pangkalan ojek menunggu pelanggan. Suatu hari Muhsanto mendapat pelanggan dan seperti biasa ia mengantarkan pelanggan sesuai dengan tujuanya.
“ia mbak... mbaknya mau sampai mana..?” . Muhsanto bertanya.
“tolong dianter sampai IAIN ya mas...!!!”. jawab pelanggan tersebut.
Seketika dentuman keras berasal dari jantung Muhsanto terdengar. Ya, tentunya hanya Muhsanto yang bisa mendengar dentuman jantungnya sendiri. Ia kaget. Hatinya serasa melonjak-lonjak. Fikiranya beralih pada ingatan kenestapaan.
“IAIN Raden Fatah ....????” tanya Muhsanto memastikan.
Ia pun memaksa melupakan dentuman keras jantungnya dan segera mengantarkan pelangganya tersebut. Sungguh ada perasaan aneh yang timbul di hati Muhsanto kala dalam perjalanan menuju IAIN. Dan akhirnya ia sampai ke gerbang utama.
“ ini mas ongkosnya... terima kasih ya...!!!” kata pelangganya setelah ia sampai dan turun tepat di gerbang utama IAIN dan berjalan masuk ke dalam. Muhsanto memandangi jalan pelangganya itu yang terus berjalan masuk hingga sosoknya menghilang dari pandangan Muhsanto.
Namun bukan pelanggan itu yang sedari tadi membuat perasaan Muhsanto jadi aneh. Seketika ia memandangi lingkungan IAIN. Fikiranya tiba-tiba melayang ke masa silam 4 tahun yang lalu. Cintanya bersama Hesti. Ya.. benar, disinilah ia bertemu bersama Hesti. Kala itu mereka adalah mahasiswa baru dan mereka saling berkenalan di masa ospek. Hingga benih-benih cinta mulai tumbuh. Kedua insan yang telah dimabuk asmara ini, benar-benar terlena dengan indahnya cinta. Namun aneh, biasanya orang yang sedang jatuh cinta akan membuat sang empunya hati bersemangat. Berpacu menjadi lebih kencang unutk belajar. Namun ini berbeda. Muhsanto salah dalam memanajemen cinta dan pendidikanya. Sampai-sampai Muhsanto tak memiliki semangat belajar lagi. Ia sering bolos dan menitipkan absen dan lebih memilih janjian dengan Hesti. Hingga akhirnya ketika menginjak semester 3 nilai Muhsanto turun. Alih-alih mengubah belajar lebih giat lagi untuk memperbaiki nilainya, tetapi sungguh dikejutkan ketika Muhsanto lebih memutuskan untuk menikah saja. Nampaknya Muhsanto telah keblinger dengan cintanya. Ia berfikir jika pendidikan tidak perlu. Orang tuanya kaya, dan ia bisa bergantung dari kekayaan orang tuanya yang seorang pengusaha itu. Kekecewaan orang tuanya terlukis, harapan agar anaknya lulus S1 menjadi sirna. Namun... orang tua tetaplah orang tua, yang memiliki hati nurani selembut sutra dan seluas samudra, menyejukkan jiwa-jiwa keturunanya. Meski orang tua Muhsanto kecewa atas keputusan anaknya itu, mereka mengikuti keputusan Muhsanto. Dan menikahkan putra satu-satunya itu dengan harapan keputusan ini lebih baik unutk kedepanya.
Dan benar saja. Muhsanto memutuskan kuliahnya dan menikah dengan Hesti. Awal pernikahan mereka hidup serba kecukupan karena masih dibantu oleh orang tuanya. Namun semua berubah ketika usaha orang tuanya bangkrut dan Muhsanto harus menerima takdir. Ia harus mencukupi kehidupanya sendiri. Hidup lontang lantung tak memiliki pekerjaan.
Dan sekarang ia tersadar dari lamunyanya. Ia menatap gerbang IAIN itu dengan wajah sendu. Hatinya kembali berdentum. Seolah mendentumkan kata-kata lirih. “Kenapa dulu ia tak serius belajar, kenapa dulu ia menyia-nyiakan waktunya, kenapa ia dulu tak mempedulikan pendidikan, kenapa dulu ia tak menyelesaikan kuliahnya”. Dentuman demi dentuman penyesalan hatinya terus berdentum menandakan jiwa manusia ini benar-benar menyesali hidupnya.
Remaja dengan dua anak kembar ini menundukkan kepala dan segera mengengkol motornya, pandanganya meninggalkan gerbang IAIN sambil berucap.
“ Dini dan Dono anakku....cepat dan tumbuhlah kalian menjadi dewasa. Berbaktilah pada orang tuamu, taatlah pada agamamu, jadilah anak-anak yang sukses. Dan jangan kalian warisi DENTUMAN PENYESALAN ayahmu ini.....!!!!!”.                                     THE END....!!!!!!
CREATED BY : RUSMIATININGSIH
FAK/JUR : ADAB DAN HUMANIORA/ILMU PERPUSTAKAAN
CP : 085669588872

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo dikasih masukan ya...