Sabtu, 19 Oktober 2013

YURIDIKSI HUKUM PIDANA DALAM TRANSAKSI CYBER CRIME

BAB II
YURIDIKSI HUKUM PIDANA DALAM TRANSAKSI CYBER CRIME
A.    Cyber Crime Sebagai Salah Satu Kejahatan Transnasional
Cyber crime merupakan bentuk kejahatan yang relatif baru apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kejahatan lain yang sifatnya kenvesional (street crime). Cyber crime muncul R. Nitibaskara bahwa: “Interaksi sosial yang meminimalisir kehadiran secara fisik, merupakan ciri lain revolusi teknologi informasi. Dengan interaksi semacam ini, penyimpangan hubungan sosial yang berupa kejahatan (crime), akan menyesuaikan bentuknya dengan karakter baru tersebut.” Ringkasnya, sesuai dengan ungkapan “kejahatan merupakan produk dari masyarakatnya sendiri” (crime is a product of society its self), “habitat” baru ini, dengan segala bentuk pola interaksi yang ada di dalamnya, akan menghasilkan jenis-jenis kejahatan yang berbeda dengan kejahatan-kejahatan ini berada dalam satu kelompok besar yang dikenal dengan istilah “cyber crime”.[1]

Berbicara masalah kejahatan komputer memberikan pandangan kepada kita, bahwa kejahatan tersebut memiliki ruang lingkup yang luas meliputi antara lain pencurian, penggelapan, pemalsuan, manipulasi, penipuan/kecurangan dan sebagainya. Semakin berkembang pemakaian peralatankomputer semakin banyak terjadi kasus kejahatan melalui peralatan komputer. Adapun motivasi yang melatarbelakangi timbulnya kejahatan itu adalah dilandasi oleh suatu sifat kecurangan. Kecurangan di bidang komputer mempunyai arti suatu perbuatan melawan hukum yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri/orang lain/kelompok dengan menyalahgunakan peralatan komputer. Pengertian tersebut masih merupakan pengertian yuridis yang baru. Di kalangan hukum, pengertian kecurangan itu dijabarkan lebih luas, yang mencakup beberapa masalah, seperti penggelapan, pemalsuan, penipuan, bahkan pencurian dengan memakai alat komputer.[2]
Belum ada kesatuan pendapat di kalangan para ahli mengenai definisi cyber crime. Hal tersebut disebabkan kejahatan ini (cyber crime) merupakan kejahatan yang relatif baru dibandingkan dengan kejahatan-kejahatan konvesional. Ada yang menerjemahkan dengan kejahatan siber, kejahatan di dunia maya, kejahatan virtual, bahkan ada yang tetap mempergunakan istilah aslinya yaitu cyber crime tanpa menerjemahkannya. Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar menyatakan bahwa meskipun belum ada kesepahaman mengenai definisi kejahatan teknologi informasi, namun ada kesamaan pengertian universal mengenai kejahatan komputer. Hal ini dapat dimengerti karena kehadiran komputer yang sudah mengglobal mendorong terjadinya universalisasi aksi dan akibat yang dirasakan dari kejahatan komputer tersebut. Kejahatan dalam dunia maya (cyber crime) secara sederhana dapat diartikan sebagai jenis kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan media internet sebagai alat bantu.
            Jenis-jenis kejahatan cyber crime diantaranya:
1.      Cyber-terorism
National Police Agency of Japan (NPA) mendefinisikan Cyber Terrorism sebagai electronic attacks through computer networks against critical infrastructures that have potential critical effects on social and economic activities of the nation.
2.      Cyber-pornography: penyebarluasan obscene materials termasuk pornography, indecent exposure, dan child pornography.
3.      Cyber-harassement: pelecehan seksual melalui e-mail, website, atau chat programs.
4.      Cyber-stalking: crimes of stalking melalui penggunaan komputer dan internet.
5.      Hacking: penggunaan programming abilities dengan maksud yang bertentangan dengan hokum.
6.      Carding (“credit-card fraud”): melibatkan berbagai macam aktifitas yang melibatkan kartu kredit. Carding muncul ketika seseorang yang bukan pemilik  kartu kredit menggunakan kartu kredit tersebut secara melawan hukum.[3]
Cyber crime memiliki ciri-ciri khusus, yaitu:
1.      Non-violance (tanpa kekerasan)
2.      Sedikit melibatkan kontak fisik (Minimize of physical contact)
3.      Menggunakan peralatan (equipment) dan teknologi
4.      Memanfaatkan jaringan telematika (telekomunikasi, media dan informatika) global.
United Nation Convention Againts Transnasional Organized Crime (Palermo Convention) Nopember 2000 menetapkan bahwa kejahatan-kejahatan yang termasuk transnasional crime adalah:
1.      Kejahatan Narkotika
2.      Kejahatan Genocide
3.      Kejahatan uang palsu
4.      Kejahatan dilaut bebas
5.      Cyber Crime
Sedangkan menurut Deklarasa ASEAN di Manila, yang termasuk dalam Transnational Crime adalah:
1.      Illicit Drug Traffcking
2.      Money Laundering
3.      Terrorism
4.      Arm Smuggling
5.      Trafficking
6.      Sea Piracy
7.      Currency Counterfeiting
8.      Cyber crime [4]
Karena begitu majunya teknologi yang dipergunakan oleh pelaku kejahatan dalam cyber crime ini, mengakibatkan timbulnya berbagai masalah hukum tersendiri dalam penanggulangannya. Sehingga tepatlah apa yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa: “Perkembangan kedua yang mempunyai akibat yang besar sekali terhadap perkembangan masyarakat internasional dan hukum internasional yang mengaturnya ialah kemajuan teknologi (kursif Penulis). Kemajuan teknik dalam berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas Negara.[5]
B.     Yuridiksi Hukum Pidana dalam Kejahatan di Dunia Maya (Cyber Crime)
Cyber space adalah media yang tidak mengenal batas. Baik batas-batas wilayah maupun batas kenegaraan. Sehubungan dengan adanya unsur-unsur internasional dari kejahatan di dunia maya (cyber crime) tentunya akan menimbulkan masalah tersendiri, khususnya berkenaan dengan masalah yurisdiksi. Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum). Yuriskdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kesamaan derajat negara dan prinsip tidak ikut campur tangan. Yurisdiksi juga merupakan suatu bentuk kedaulatan yang vital dan sentral yang dapat mengubah, menciptakan atau mengakhiri suatu hubungan atau kewajiban hukum.Berdasarkan asas umum dalam hukum internasional, setiap negara memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan atas orang dan benda ada dalam wilayahnya sendiri. Oleh karena itu, suatu negara tidak boleh melakukan tindakan yang bersifat melampui kedaulatannya (act of sovereignty) di dalam wialyah negara lain, kecuali dengan persetujuan negara itu sendiri.[6]
 Akibatnya, apabila diketahui adanya pelaku kejahatan yang melarikan diri atau berada dalam wilayah ngara lain, maka negara tersebut dapat menempuh cara yang sah unutk dapat mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan. Hukum internasional tradisional telah meletakkan beberapa prinsip umum yang berkaitan dengan yurisdiksi suatu negara. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1.      Prinsip Teritorial
Dapat menerapkan yuriskdiksi nasionalnya terhadap semua orang (baik warga negara atau asing), badan hukum dan semua benda yang berada di dalamnya. Mengenai prinsip turisdiksi teritorial, Lord Macmillan mengemukakan: “adalah suatu ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan perdana yang timbul di dalam batas-batas teritorial ini.
2.      Prinsip Nasional Aktif
Menyatakan bahwa setiap negara dapat memberlakukan yurisdiksi nasionalnya terhadap warga negaranya yang melakukan tindak pidana sekalipun tindak pidana itu dilakukan dalam yurisdiksi negara lain. Di sini kewarganegaraan pelaku menjadi titik taut diberlakukannya yurisdiksi negara asal.
3.      Prinsip Nasional Pasip
Merupakan counterpart dari prinsip nasional aktif. Pada prinsip naisonal pasif, tekanan diberikan pada kewarganegaraan si korban. Sementara prinsip nasional aktif menekankan pada kewarganegaraan si pelaku. Atas dasar prinsip ini suatu negara memiliki kewenangan untuk memberlakukan.
4.      Prinsip Perlindungan
Hukum internasional mengakui bahwa setiap negara mempunyai kewenangan melaksanakan yurisdiksi terdahap kejahatan yang menyangkut keamanan dan integritas atau kepentingan ekonomi yang vital. Wewenang ini di dasarkan atas prinsip perlindungan (protective principle). Ini menyatakan bahwa suatu negara mempunyai hak untuk menerapkan hukum (pidana) nasionalnya pada pelaku suatu tindak perdana sekalipun dilakukan di luar wilayah negara tersebut apabila tindak pidana itu yang mengancam dan keutuhan negara yang bersangkutan.
5.      Prinsip Universal
Berbeda dengan prinsip-prinsip tersebut, prinsip universal sama sekali tidak mensyaratkan suatu hubungan. Hal ini berarti bahwa prinsip universal memberi hak pad semua negara untuk memberlakukan hukum pidananya, apabila tindak pidana yang dilakukan membahayakan nilai-nilai yang universal dam kepentingan umat manusia. Suatu tindak pidana yang tunduk pada yurisdiksi universal adalah tindak pidana yang berada dibawah yurisdiksi semua negara dimana pun tindakan itu dilakukan. Karena umumnya diterima, tindakan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat internasional, maka tindakan itu dipandang sebagai delik jure gentium dan semua negara berhak untuk menangkap dan menghukum pelaku-pelakunya. Jelas tujuan pemberian yurisdiksi universal tersebut adalah untuk menjamin bahwa tidak ada tindak pidana semacam itu yang tidak dihukum.[7]
Dalam praktiknya, yurisdiksi dapat dibedakan antara yurisdiksi perdata dan yurisdiksi perdana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hukum pengadilan suatu negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang sifatnya nasional yaitu bila para pihak atau obyek perkaranya melulu menyangkut nasional, maupun yang bersifat internasional (perdata internasional) yaitu bila para pihak obyek perkaranya menyangkut unsur asing. Yurisdiksi pidana adalah kewenanga (hukum) pengadilan suatu negara terhadap perkara-perkara yanag menyangkut kepidanaan, baik yang tersangkut di dalamnya unsur asing maupun nasional. Yurisdiksi suatu negara yang di akui Hukum Internasional dalam pengertian konvensional, didasarkan pada batas-batas geografis, sementara komunikasi multimedia bersifat internaional, multi yursidiksi, tanpa batas, sehingga sampai saat ini belum dapat dipastikan bagaimana yurisdiksi suatu negara dapat diberlakukan terhadap komunikasi multimedia sebagai salah satu pemanfaatan teknologi informasi.
Ada 3 ruang lingkup yurisdiksi yang dimiliki suatu negara berkenaan dengan penetapan dan pelaksanaan pengawasan terhadap setiap peristiwa, setiap orang dan setiap benda.  Ketiga ruang lingkup tersebut terdiri dari:
1.      Yurisdiksi untuk menetapkan ketentuan pidana (jurisdiction to prescrebi atau legislative jurisdiction atau prespective jurisdiction);
2.      Yurisdiksi untuk menerapkan atau melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif (executive jurisdiction);
3.      Yurisdiksi untuk memaksakan ketentuan hukum yang telah dilaksanakan oleh badan eksekutif atau yang telah diputuskan oleh badan peradilan (enforcement jurisdiction atau jurisdiction to ajudicate).[8]
Dalam hal penanggulangan tindak pidana internasional, dikenal asas au dedere au judicare, yang berarti “Setiap Negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk bekerjasama dengan negara lain di dalam menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili pelaku tindak pidana internasional.”
Berkenaan dengan yurisdiksi pidana di dunia maya (cyber crime) adalah sampai sejauh mana suatu negara memberikan kewenangannya kepada pengadilan untuk mengadili dan menghukum pelaku tindak pidana. Pertanyaan ini penting untuk diajukan mengingat hal pertama yang harus jelas dalam proses pemeriksaan perkara adalah apakah pengadilan berwenang untuk memeriksa suatu perkara atau dengan istilah lain berhubungan dengan kompetensi absolut. Ketidak jelasan dalam penentuan kompetensi pengadilan dalam memeriksa suatu perkara berdampak besar terhadap dapat atau tidaknya seorang pelaku kejahatan diperiksa.
Kewenangan pengadilan harus ditentukan terlebih dahulu agar tidak terjadi penolakan pengadilan pengadilan untuk mengadili dan menghukum pelaku-pelaku cybercrime. Kesalahan dalam menentukan kewenangan pengadilan untuk memeriksa suatu perkara pidana akan berdampak besar bagi citra peradilan (hukum) di Indonesia.
Dalam kegiatan cyber space, Darel Manthe menyatakan yuridiksi di cyber space membutuhkan prinsip-prinsip yang jelas yang berakar dari hukum internasional. Selanjutnya Menthe menyatakan hanya melalui prinsip-prinsip yuridiksi ini, maka negara-negara dapat dihimbau untuk mengadopsi pemecahan yang sama terhadap pernyataan mengenai yuridiksi internet. Pendapat Mente ini ditafsirkan bahwa dengan diakuinya prinsip-prinsip yuridiksi  maka akan mudah bagi negara untuk mengadakan kerja sama dalam rangka harmonisasi ketentuan-ketentuan pidana untuk menanggulangi cyber crime.
Sebagai perbandingan, selanjutnya Menthe menunjuk pada beberapa teori yang berlaku di Amerika Serikat, yaitu:
1.      The theory of the uploader and the downloader
Berdasarkan teori ini, uploader adalah pihak yang memasukkan informasi ke dalam cyberspace sedangkan downloader adalah pihak yang mengakses informasi. Pada umumnya, yurisdiksi mengenai perbuatan-perbuatan perdata dan tindak pidana tidak ada kesulitan.
2.      The theory of the Law of the Server
Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford University tunduk pada hukum California. Namun, teori ini akan sulit digunakan apabila uploader berada dalam yurisdiksi asing.
3.      The theory of International Space
Menurut terori ini, cyberspace adalah suatu lingkungan hukum yang terpisah dengan hukum konvensioanal dimana setiap Negara memiliki kedaulatan yang sama.
Dalam hukum internasional dikenal ruang dimensi keempat, yaitu ruang angkasa. Hukum yang mengatur kegiatan di ruang angkasa adalah hukum internasional, yaitu berupa perjanjian antara Negara-negara.di beberapa kawasan-kawasan memang telah diadakan kerjasama dalam rangka harmonisasi ketentuan-ketentuan yang mengatur yurisdiksi untuk civil and commercial matters, misalnya Uni Eropa. Berdasarkan kasus-kasus yang telah terjadi, Nampak bahwa yurisdiksi territorial banyak dijadikan dasar penanganan kasus cybercrime di pengadilan.[9]



C.    Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana dalam Kejahatan di Dunia Maya (Cyber Crime)
Dengan ruang lingkup yang cukup luas dan tanpa batas perlu sebuah produk hukum yang mengcover semua aspek cyber law. Dalam hukum internasional ada 3 jenis yuridiksi yaitu :
1. yuridiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe),
2. yuridiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce) dan
3. yuridiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate)[10]
Dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum pidana diatur mengenai batas-batas berlakunya hukum pidana menurut waktu atau saat terjadinya perbuatan, sedangkan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut tempat terjadinya perbuatan.
Berkenaan dengan peraturan di atas, Moeljatno mengemukakan bahwa dari sudut Negara ada dua kemungkinan pendirian, yaitu:“Pertama, perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana terjadi di dalam wilayah suatu Negara, baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang asing (asas territorial). Kedua, perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga Negara, di mana saja, juga di luar wilayah Negara (asas personal). Juga dinamakan prinsip nasional yang aktif.”[11]
Terhadap pernyataan Moeljatno di atas, Romli Atmasasmita mengatakan: “Semua asas-asas yang terkandung di dalam pasal 2-9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan yurisdiksi criminal suatu Negara, kewenangan Negara untuk menangkap, menahan, menuntut, dan mengadili seseorang yang disangka telah melakukan suatu tindakan pidana baik di dalam wilayah suatu Negara maupun diluar wilayah Negara yang bersangkutan. Sekalipun demikian kewenagan tersebut masih bersifat terbatas.”

Dari pernyataan-pernyataan di atas terlihat jelas bahwa pada hakikatnya untuk beberapa kasus yang melibatkan aspek asing di dalamnya (pelaku, tempat terjadinya, dan sebagainya). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah dapat diberlakukan sekalipun sifatnya masih terbatas. Yakni keterbatasan pengaturan mengenai jenis dan pelaku tindak pidana.
Sebagaimana kita ketahui bahwa perluasan perluasan yuridiksi dimungkinkan keberadaanya berdasarkan hukum internasional. Sebagaimana dikemukakan oleh J.G Strake bahwa “perluasan yuridiksi kriminal yang meliputi hak untuk melakukan penuntutan dan penjatuhan pidana atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan dalam batas wilayah suatu negara akan tetapi diselesaikan dalam wilayah negara lain. Perluasan yurudiksi kriminal ini disebut sebagai subjective teritorial principle. Perluasan yang kedua meluputi kejahatan yang dilakukan di negara lain akan tetapi (a) diselesaikan dalam batas negara wilayah negara yang dirugikan dan (b) membawa dampak yang sangat merugikan kepentingan perekonomian dan kesejahteraan sosial negara yang bersangkutan. Perluasan yuridiksi kriminal ini disebut objective teritorial principle”.[12]




















[1] Dikdik, Cyber Law, Bandung:Refika Aditama, 2009, hal.25.
[2] Andi Hamzah, Aspek-Aspek Pidana di Bidang Komputer, Jakarta: Sinar Grafika,1992, hal. 49.
[3] Op.Cit., Hal. 26
[4] Ibid.,Hal.27-29.
[5] Ibid.,
[6] Ibid., Hal.30.
[7] Ibid., Hal 31-32.
[8] Ibid.,hal.34
[9]Ibid., Hal 39-40.
[10] http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/03/cyber-chrime-di-dunia-maya/
[11] Op.Cit.,hal 41.
[12] Ibid., hal. 42.

3 komentar:

Monggo dikasih masukan ya...