BAB
II
YURIDIKSI
HUKUM PIDANA DALAM TRANSAKSI CYBER CRIME
A.
Cyber
Crime Sebagai Salah Satu Kejahatan Transnasional
Cyber
crime merupakan bentuk kejahatan yang relatif baru
apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kejahatan lain yang sifatnya
kenvesional (street crime). Cyber crime muncul R. Nitibaskara bahwa:
“Interaksi sosial yang meminimalisir kehadiran secara fisik, merupakan ciri
lain revolusi teknologi informasi. Dengan interaksi semacam ini, penyimpangan
hubungan sosial yang berupa kejahatan (crime),
akan menyesuaikan bentuknya dengan karakter baru tersebut.” Ringkasnya, sesuai
dengan ungkapan “kejahatan merupakan produk dari masyarakatnya sendiri” (crime is a product of society its self),
“habitat” baru ini, dengan segala bentuk pola interaksi yang ada di dalamnya,
akan menghasilkan jenis-jenis kejahatan yang berbeda dengan kejahatan-kejahatan
ini berada dalam satu kelompok besar yang dikenal dengan istilah “cyber crime”.[1]
Berbicara masalah kejahatan komputer
memberikan pandangan kepada kita, bahwa kejahatan tersebut memiliki ruang
lingkup yang luas meliputi antara lain pencurian, penggelapan, pemalsuan,
manipulasi, penipuan/kecurangan dan sebagainya. Semakin berkembang pemakaian
peralatankomputer semakin banyak terjadi kasus kejahatan melalui peralatan
komputer. Adapun motivasi yang melatarbelakangi timbulnya kejahatan itu adalah
dilandasi oleh suatu sifat kecurangan. Kecurangan di bidang komputer mempunyai
arti suatu perbuatan melawan hukum yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri/orang lain/kelompok dengan menyalahgunakan peralatan komputer.
Pengertian tersebut masih merupakan pengertian yuridis yang baru. Di kalangan
hukum, pengertian kecurangan itu dijabarkan lebih luas, yang mencakup beberapa
masalah, seperti penggelapan, pemalsuan, penipuan, bahkan pencurian dengan
memakai alat komputer.[2]
Belum ada kesatuan pendapat di kalangan
para ahli mengenai definisi cyber crime.
Hal tersebut disebabkan kejahatan ini (cyber
crime) merupakan kejahatan yang relatif baru dibandingkan dengan
kejahatan-kejahatan konvesional. Ada yang menerjemahkan dengan kejahatan siber,
kejahatan di dunia maya, kejahatan virtual, bahkan ada yang tetap mempergunakan
istilah aslinya yaitu cyber crime tanpa
menerjemahkannya. Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar
menyatakan bahwa meskipun belum ada kesepahaman mengenai definisi kejahatan
teknologi informasi, namun ada kesamaan pengertian universal mengenai kejahatan
komputer. Hal ini dapat dimengerti karena kehadiran komputer yang sudah
mengglobal mendorong terjadinya universalisasi aksi dan akibat yang dirasakan
dari kejahatan komputer tersebut. Kejahatan dalam dunia maya (cyber crime) secara sederhana dapat
diartikan sebagai jenis kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan media
internet sebagai alat bantu.
Jenis-jenis kejahatan cyber crime diantaranya:
1.
Cyber-terorism
National
Police Agency of Japan (NPA) mendefinisikan Cyber
Terrorism sebagai electronic attacks through computer networks against
critical infrastructures that have potential critical effects on social and
economic activities of the nation.
2. Cyber-pornography: penyebarluasan obscene
materials termasuk pornography, indecent exposure, dan child pornography.
3. Cyber-harassement:
pelecehan seksual melalui e-mail, website, atau chat programs.
4. Cyber-stalking:
crimes of stalking melalui penggunaan komputer dan
internet.
5. Hacking:
penggunaan programming abilities dengan maksud yang bertentangan dengan hokum.
6. Carding (“credit-card fraud”): melibatkan berbagai
macam aktifitas yang melibatkan kartu kredit. Carding muncul ketika seseorang
yang bukan pemilik kartu kredit
menggunakan kartu kredit tersebut secara melawan hukum.[3]
Cyber crime memiliki ciri-ciri khusus,
yaitu:
1. Non-violance
(tanpa kekerasan)
2. Sedikit
melibatkan kontak fisik (Minimize of
physical contact)
3. Menggunakan
peralatan (equipment) dan teknologi
4. Memanfaatkan
jaringan telematika (telekomunikasi, media dan informatika) global.
United
Nation Convention Againts Transnasional Organized Crime
(Palermo Convention) Nopember 2000 menetapkan bahwa kejahatan-kejahatan yang
termasuk transnasional crime adalah:
1. Kejahatan
Narkotika
2. Kejahatan
Genocide
3. Kejahatan
uang palsu
4. Kejahatan
dilaut bebas
5. Cyber
Crime
Sedangkan menurut Deklarasa ASEAN di
Manila, yang termasuk dalam Transnational Crime adalah:
1. Illicit
Drug Traffcking
2. Money
Laundering
3. Terrorism
4. Arm
Smuggling
5. Trafficking
6. Sea
Piracy
7. Currency
Counterfeiting
8. Cyber
crime [4]
Karena begitu majunya teknologi yang
dipergunakan oleh pelaku kejahatan dalam cyber
crime ini, mengakibatkan timbulnya berbagai masalah hukum tersendiri dalam
penanggulangannya. Sehingga tepatlah apa yang dikemukakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja bahwa: “Perkembangan kedua yang mempunyai akibat yang besar
sekali terhadap perkembangan masyarakat internasional dan hukum internasional
yang mengaturnya ialah kemajuan teknologi (kursif Penulis). Kemajuan teknik
dalam berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi
batas Negara.[5]
B.
Yuridiksi
Hukum Pidana dalam Kejahatan di Dunia Maya (Cyber Crime)
Cyber
space adalah media yang tidak mengenal batas. Baik
batas-batas wilayah maupun batas kenegaraan. Sehubungan dengan adanya
unsur-unsur internasional dari kejahatan di dunia maya (cyber crime) tentunya akan menimbulkan masalah tersendiri,
khususnya berkenaan dengan masalah yurisdiksi. Yurisdiksi adalah kekuasaan atau
kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum).
Yuriskdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara,
kesamaan derajat negara dan prinsip tidak ikut campur tangan. Yurisdiksi juga
merupakan suatu bentuk kedaulatan yang vital dan sentral yang dapat mengubah,
menciptakan atau mengakhiri suatu hubungan atau kewajiban hukum.Berdasarkan
asas umum dalam hukum internasional, setiap negara memiliki kekuasaan tertinggi
atau kedaulatan atas orang dan benda ada dalam wilayahnya sendiri. Oleh karena
itu, suatu negara tidak boleh melakukan tindakan yang bersifat melampui
kedaulatannya (act of sovereignty) di
dalam wialyah negara lain, kecuali dengan persetujuan negara itu sendiri.[6]
Akibatnya, apabila diketahui adanya pelaku
kejahatan yang melarikan diri atau berada dalam wilayah ngara lain, maka negara
tersebut dapat menempuh cara yang sah unutk dapat mengadili dan menghukum si
pelaku kejahatan. Hukum internasional tradisional telah meletakkan beberapa
prinsip umum yang berkaitan dengan yurisdiksi suatu negara. Prinsip-prinsip
tersebut adalah:
1.
Prinsip
Teritorial
Dapat
menerapkan yuriskdiksi nasionalnya terhadap semua orang (baik warga negara atau
asing), badan hukum dan semua benda yang berada di dalamnya. Mengenai prinsip
turisdiksi teritorial, Lord Macmillan mengemukakan: “adalah suatu ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, seperti
semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi
terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam
semua perkara perdata dan perdana yang timbul di dalam batas-batas teritorial
ini.
2.
Prinsip Nasional
Aktif
Menyatakan
bahwa setiap negara dapat memberlakukan yurisdiksi nasionalnya terhadap warga negaranya
yang melakukan tindak pidana sekalipun tindak pidana itu dilakukan dalam
yurisdiksi negara lain. Di sini kewarganegaraan pelaku menjadi titik taut
diberlakukannya yurisdiksi negara asal.
3.
Prinsip Nasional
Pasip
Merupakan
counterpart dari prinsip nasional
aktif. Pada prinsip naisonal pasif, tekanan diberikan pada kewarganegaraan si
korban. Sementara prinsip nasional aktif menekankan pada kewarganegaraan si
pelaku. Atas dasar prinsip ini suatu negara memiliki kewenangan untuk
memberlakukan.
4.
Prinsip Perlindungan
Hukum
internasional mengakui bahwa setiap negara mempunyai kewenangan melaksanakan
yurisdiksi terdahap kejahatan yang menyangkut keamanan dan integritas atau
kepentingan ekonomi yang vital. Wewenang ini di dasarkan atas prinsip
perlindungan (protective principle).
Ini menyatakan bahwa suatu negara mempunyai hak untuk menerapkan hukum (pidana)
nasionalnya pada pelaku suatu tindak perdana sekalipun dilakukan di luar
wilayah negara tersebut apabila tindak pidana itu yang mengancam dan keutuhan
negara yang bersangkutan.
5.
Prinsip
Universal
Berbeda
dengan prinsip-prinsip tersebut, prinsip universal sama sekali tidak
mensyaratkan suatu hubungan. Hal ini berarti bahwa prinsip universal memberi
hak pad semua negara untuk memberlakukan hukum pidananya, apabila tindak pidana
yang dilakukan membahayakan nilai-nilai yang universal dam kepentingan umat
manusia. Suatu tindak pidana yang tunduk pada yurisdiksi universal adalah
tindak pidana yang berada dibawah yurisdiksi semua negara dimana pun tindakan
itu dilakukan. Karena umumnya diterima, tindakan yang bertentangan dengan
kepentingan masyarakat internasional, maka tindakan itu dipandang sebagai delik
jure gentium dan semua negara berhak untuk menangkap dan menghukum
pelaku-pelakunya. Jelas tujuan pemberian yurisdiksi universal tersebut adalah
untuk menjamin bahwa tidak ada tindak pidana semacam itu yang tidak dihukum.[7]
Dalam praktiknya, yurisdiksi dapat
dibedakan antara yurisdiksi perdata dan yurisdiksi perdana. Yurisdiksi perdata
adalah kewenangan hukum pengadilan suatu negara terhadap perkara-perkara yang
menyangkut keperdataan baik yang sifatnya nasional yaitu bila para pihak atau
obyek perkaranya melulu menyangkut nasional, maupun yang bersifat internasional
(perdata internasional) yaitu bila para pihak obyek perkaranya menyangkut unsur
asing. Yurisdiksi pidana adalah kewenanga (hukum) pengadilan suatu negara
terhadap perkara-perkara yanag menyangkut kepidanaan, baik yang tersangkut di
dalamnya unsur asing maupun nasional. Yurisdiksi suatu negara yang di akui
Hukum Internasional dalam pengertian konvensional, didasarkan pada batas-batas
geografis, sementara komunikasi multimedia bersifat internaional, multi
yursidiksi, tanpa batas, sehingga sampai saat ini belum dapat dipastikan
bagaimana yurisdiksi suatu negara dapat diberlakukan terhadap komunikasi
multimedia sebagai salah satu pemanfaatan teknologi informasi.
Ada 3 ruang lingkup yurisdiksi yang
dimiliki suatu negara berkenaan dengan penetapan dan pelaksanaan pengawasan
terhadap setiap peristiwa, setiap orang dan setiap benda. Ketiga ruang lingkup tersebut terdiri dari:
1.
Yurisdiksi untuk
menetapkan ketentuan pidana (jurisdiction
to prescrebi atau legislative
jurisdiction atau prespective
jurisdiction);
2.
Yurisdiksi untuk
menerapkan atau melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh badan
legislatif (executive jurisdiction);
3.
Yurisdiksi untuk
memaksakan ketentuan hukum yang telah dilaksanakan oleh badan eksekutif atau
yang telah diputuskan oleh badan peradilan (enforcement
jurisdiction atau jurisdiction to
ajudicate).[8]
Dalam hal penanggulangan tindak pidana
internasional, dikenal asas au dedere au judicare, yang berarti “Setiap Negara berkewajiban untuk menuntut
dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk
bekerjasama dengan negara lain di dalam menangkap, menahan dan menuntut serta
mengadili pelaku tindak pidana internasional.”
Berkenaan dengan yurisdiksi pidana di
dunia maya (cyber crime) adalah sampai sejauh mana suatu negara memberikan kewenangannya kepada
pengadilan untuk mengadili dan menghukum pelaku tindak pidana. Pertanyaan ini
penting untuk diajukan mengingat hal pertama yang harus jelas dalam proses
pemeriksaan perkara adalah apakah pengadilan berwenang untuk memeriksa suatu
perkara atau dengan istilah lain berhubungan dengan kompetensi absolut. Ketidak
jelasan dalam penentuan kompetensi pengadilan dalam memeriksa suatu perkara
berdampak besar terhadap dapat atau tidaknya seorang pelaku kejahatan
diperiksa.
Kewenangan pengadilan harus ditentukan
terlebih dahulu agar tidak terjadi penolakan pengadilan pengadilan untuk
mengadili dan menghukum pelaku-pelaku cybercrime. Kesalahan dalam menentukan
kewenangan pengadilan untuk memeriksa suatu perkara pidana akan berdampak besar
bagi citra peradilan (hukum) di Indonesia.
Dalam kegiatan cyber space, Darel Manthe
menyatakan yuridiksi di cyber space membutuhkan prinsip-prinsip yang jelas yang
berakar dari hukum internasional. Selanjutnya Menthe menyatakan hanya melalui
prinsip-prinsip yuridiksi ini, maka negara-negara dapat dihimbau untuk
mengadopsi pemecahan yang sama terhadap pernyataan mengenai yuridiksi internet.
Pendapat Mente ini ditafsirkan bahwa dengan diakuinya prinsip-prinsip
yuridiksi maka akan mudah bagi negara
untuk mengadakan kerja sama dalam rangka harmonisasi ketentuan-ketentuan pidana
untuk menanggulangi cyber crime.
Sebagai perbandingan, selanjutnya Menthe
menunjuk pada beberapa teori yang berlaku di Amerika Serikat, yaitu:
1. The
theory of the uploader and the downloader
Berdasarkan teori ini,
uploader adalah pihak yang memasukkan informasi ke dalam cyberspace sedangkan
downloader adalah pihak yang mengakses informasi. Pada umumnya, yurisdiksi
mengenai perbuatan-perbuatan perdata dan tindak pidana tidak ada kesulitan.
2. The
theory of the Law of the Server
Menurut teori ini
sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford University tunduk pada
hukum California. Namun, teori ini akan sulit digunakan apabila uploader berada
dalam yurisdiksi asing.
3. The
theory of International Space
Menurut terori ini,
cyberspace adalah suatu lingkungan hukum yang terpisah dengan hukum
konvensioanal dimana setiap Negara memiliki kedaulatan yang sama.
Dalam hukum internasional dikenal ruang
dimensi keempat, yaitu ruang angkasa. Hukum yang mengatur kegiatan di ruang
angkasa adalah hukum internasional, yaitu berupa perjanjian antara
Negara-negara.di beberapa kawasan-kawasan memang telah diadakan kerjasama dalam
rangka harmonisasi ketentuan-ketentuan yang mengatur yurisdiksi untuk civil and
commercial matters, misalnya Uni Eropa. Berdasarkan kasus-kasus yang telah
terjadi, Nampak bahwa yurisdiksi territorial banyak dijadikan dasar penanganan
kasus cybercrime di pengadilan.[9]
C.
Ruang
Lingkup Berlakunya Hukum Pidana dalam Kejahatan di Dunia Maya (Cyber Crime)
Dengan ruang lingkup yang cukup luas dan tanpa batas perlu
sebuah produk hukum yang mengcover semua aspek cyber law. Dalam hukum
internasional ada 3 jenis yuridiksi yaitu :
1.
yuridiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe),
2.
yuridiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce) dan
3.
yuridiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate)[10]
Dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum
pidana diatur mengenai batas-batas berlakunya hukum pidana menurut waktu atau
saat terjadinya perbuatan, sedangkan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana diatur mengenai batas-batas berlakunya
perundang-undangan hukum pidana menurut tempat terjadinya perbuatan.
Berkenaan dengan peraturan di atas,
Moeljatno mengemukakan bahwa dari sudut Negara ada dua kemungkinan pendirian,
yaitu:“Pertama, perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan
pidana terjadi di dalam wilayah suatu Negara, baik dilakukan oleh warga
negaranya sendiri maupun oleh orang asing (asas territorial). Kedua, perundang-undangan
hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga
Negara, di mana saja, juga di luar wilayah Negara (asas personal). Juga
dinamakan prinsip nasional yang aktif.”[11]
Terhadap
pernyataan Moeljatno di atas, Romli Atmasasmita mengatakan: “Semua asas-asas
yang terkandung di dalam pasal 2-9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan
yurisdiksi criminal suatu Negara, kewenangan Negara untuk menangkap, menahan,
menuntut, dan mengadili seseorang yang disangka telah melakukan suatu tindakan
pidana baik di dalam wilayah suatu Negara maupun diluar wilayah Negara yang
bersangkutan. Sekalipun demikian kewenagan tersebut masih bersifat terbatas.”
Dari pernyataan-pernyataan di atas
terlihat jelas bahwa pada hakikatnya untuk beberapa kasus yang melibatkan aspek
asing di dalamnya (pelaku, tempat terjadinya, dan sebagainya). Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana sudah dapat diberlakukan sekalipun sifatnya masih
terbatas. Yakni keterbatasan pengaturan mengenai jenis dan pelaku tindak
pidana.
Sebagaimana kita ketahui bahwa perluasan
perluasan yuridiksi dimungkinkan keberadaanya berdasarkan hukum internasional.
Sebagaimana dikemukakan oleh J.G Strake bahwa “perluasan yuridiksi kriminal
yang meliputi hak untuk melakukan penuntutan dan penjatuhan pidana atas
kejahatan-kejahatan yang dilakukan dalam batas wilayah suatu negara akan tetapi
diselesaikan dalam wilayah negara lain. Perluasan yurudiksi kriminal ini
disebut sebagai subjective teritorial principle. Perluasan yang kedua meluputi kejahatan
yang dilakukan di negara lain akan tetapi (a) diselesaikan dalam batas negara
wilayah negara yang dirugikan dan (b) membawa dampak yang sangat merugikan
kepentingan perekonomian dan kesejahteraan sosial negara yang bersangkutan.
Perluasan yuridiksi kriminal ini disebut objective teritorial principle”.[12]
[1]
Dikdik, Cyber Law, Bandung:Refika
Aditama, 2009, hal.25.
[2]
Andi Hamzah, Aspek-Aspek Pidana di Bidang
Komputer, Jakarta: Sinar Grafika,1992, hal. 49.
[3]
Op.Cit., Hal. 26
[4]
Ibid.,Hal.27-29.
[5]
Ibid.,
[6]
Ibid., Hal.30.
[7]
Ibid., Hal 31-32.
[8]
Ibid.,hal.34
[9]Ibid., Hal 39-40.
[10]
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/03/cyber-chrime-di-dunia-maya/
[11]
Op.Cit.,hal 41.
[12]
Ibid., hal. 42.
hobby juga bahas cyber crime ya
BalasHapusHa ha iya..... Materi kuliah....
BalasHapusHa ha iya..... Materi kuliah....
BalasHapus